DUA PULUH SEMBILAN

3.7K 157 13
                                    

Now playing :
Exo - smile on my face

*****

Sejak Devara meninggalkan gue keluar negri. Gue menjadi sosok yang sangat berbeda. Bahkan sahabat-sahabat gue selalu berusaha mengembalikan gue yang dulu. Ya sesekali gue merespon mereka dengan canda dan tawa yang begitu garing. Entah mengapa gue benar-benar butuh Devara untuk menjalankan hidup. Bucin memang. Karena gue tidak mau kehilangan dia.

Bulan depan akan diadakan ujian akhir. Gue berharap Devara ada di samping gue untuk menemani belajar. Seperti yang gue jalani, setelah gue belajar bersama Devara dan melakukan semua trik anehnya, nilai gue semakin melonjak naik. Hampir semua guru tidak percaya karena mengira gue menyontek.

Gue merindukan sosoknya yang selalu tertawa. Gue merindukan sosoknya yang selalu tersenyum. Gue merindukan sosoknya yang selalu bijak dan dewasa dalam menghadapi apapun. Gue masih setia menunggunya kembali bahkan ini sudah hampir 75 hari tanpa kabar darinya. Dihubungi tidak aktif, mengirim pesan tidak dibalas. Gue harus melakukan apa agar gue bisa mendengarkan suaranya dan melihat wajahnya.

LDR ini bukanlah hal yang biasa. Menurut gue ini berat. Ketika kita dihadapkan kepada sebuah jarak dan waktu, maka kerinduan yang ada harus terus ditahan sampai dia menemukan titik temu yang tepat. Gue ingin tahu keadaan Devara. Pak Harun dan bibi Tina mengatakan jika mereka tidak mendapatkan pesan apapun dari Devara. Bon dan Jon juga tinggal disini, mereka tidak ikut Devara pergi. Itu hal yang membuat gue sedikit susah untuk mengetahui kabarnya.

Hari ini gue memutuskan untuk memperbaiki hubungan gue dengan bunda. Gue ingin memiliki hubungan yang baik dengan bunda. Sesuai dengan apa yang dikatakan Devara bahwa gue membutuhkan keluarga disaat gue sendiri. Ya, gue merindukan suasana keluarga yang damai. Bukan saling berdiam diri dan menjalani aktivitas sendiri.

Sepulang sekolah, gue bergegas menuju cafe bunda. Jalanan sore begitu padat dan sedikit macet. Bodohnya gue tadi membawa mobil. Andai saja gue membawa motor pasti gue bisa mendahului. Setelah beberapa menit dan hampir satu jam gue terjebak di jalan,akhirnya gue berada di depan cafe milik bunda. Gue memikirkan kata-kata apa yang pas untuk digunakan sebagai pengawal baik kepada bunda. Apakah aku harus mengucapkan saoam dan berbasa-basi ataukah harus langsung berbicara ke poinnya.

Sebelum gue masuk, gue melihat sebuah mobil yang tidak asing. Mobil berwarna putih dengan plat belakang BRY itu langsung mengingatkanku kepada bang Brey, kakak Devara. Gue melirik ke arah kaca. Benar saja, bunda sedang berbicara dengan mama Devara dan juga kak Brey. Gue langsung masuk ke dalam cafe namun langkah gue terhenti mendadak ketika bunda mengatakan sesuatu yang membuatku tubuhku menegang.

"Tolong. Tolong kalian jenguk Devara. Dia berusaha mati-matian demi nyawanya."

"Anda berbicara apa? Mengapa adik saya harus berjuang demi nyawanya?"

"Devara divonis kanker otak. Sama dengan riwayat penyakit yang diderita oleh ibu kandungnya. Selama beberapa bulan ini saya mati-matian untuk menyembunyikan ini dari orang terdekatnya bahkan dari anak saya sendiri. Tolong, dia membutuhkan keluarga anda. Keluarganya yang dulu."

Bagaikan petir di siang bolong tanpa ada tanda hujan, gue langsung menghampiri bunda dan meluapkan semuanya.

"Jadi selama ini Devara gak keluar negri? Jadi selama ini Devara kemana bunda? Kenapa bunda gak ngomong sama Deva? Kenapa bunda gak ngasih tahu Deva tentang masalah seberat ini? Bunda bohong kan bun? Kemarin Devara bilang mau keluar negri buat review."

DEVA & DEVARA ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang