Miya sudah pulang sekolah bersama Brian. Setelah selesai mengantar Miya sampai di rumah dengan keadaan selamat, Brian langsung pamit ke rumahnya.
Rumah Miya itu tidak bertingkat, tapi luas dan besar. Halaman rumahnya berisi macam-macam bunga yang di taman sama pembantunya. Warna rumah ini berwarna abu-abu dengan garasi yang dicat dengan warna putih.
Miya berjalan menuju teras rumahnya, menemukan sepasang sepatu yang benar-benar dia ingat. Miya langsung menghela nafasnya malas.
"Biiiii!! Aku dikamar doang ya. Nanti makanannya diantar ke kamar ku," ucap Miya setengah berteriak pada sang pembantu yang sudah merawatnya sejak kecil.
Bi Sari muncul dari belakang dapur, dia segera menghampiri Miya yang masih buka sepatu didepan. "Neng, ada nyonya itu." ucap bi Sari pada Miya.
"Malas ah." jawab anak itu lalu masuk kedalam rumahnya dan melewati ruang tamu yang sudah ada sang ibu. Miya masuk kedalam kamarnya, meletakkan tasnya dimeja belajar lalu mengganti bajunya dengan baju rumahan yang lebih nyaman.
Bi Sari tampak tak enak dengan sikap Miya pada ibunya. Dia mengetuk-etuk pintu kamar Miya berkali-kali. "Neng! Itu ga enak sama nyonya!" ucap bi Sari.
"Udahlah bi, suruh pulang." ucap gadis itu dari dalam. Dia duduk didepan komputernya dan langsung menyalakan layar flat itu.
Tak ada lagi jawaban. Miya menghela nafasnya lega. Dia begitu menghindari sosok itu. Bukan, dia tak membenci wanita modis itu. Hanya saja terkadang ibunya itu keterlaluan.
Miya mulai asik dengan dunianya. Dia tak lagi mendengar panggilan karena dia sudah pakai earphone gaming nya.
Ada beberapa alasan kenapa Miya begitu menghindari sosok ibunya. Salah satunya ayah Miya akan dijelek-jelekkan oleh ibunya sendiri.
Hei, siapa yang mau mendengarkan ucapan buruk tentang sosok yang begitu dia sayang dan kagumi.
Pintu kamar Miya terbuka tanpa gadis itu sadari. Seorang wanita cantik yang tampil modis dengan membawa sepiring nasi dan segelas air. Wanita itu berjalan mendekati Miya yang tampak tak sadar akan kedatangannya.
Dia menyentuh pundak anaknya perlahan. Miya menatap pantulan ibu nya dari pc miliknya. "Apa?" tanya gadis itu tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.
"Makan, nanti disambung mainnya." perintahnya.
"Letak aja situ, ntar aku makan. Bilang makasih sama bi Sari ya." ucap anak itu.
Hati ibunya teriris. Kenapa Miya tak mengucapakan terimakasih pada dirinya. Ibunya duduk di pinggir kasur miya. Volume earphone Miya itu ga keras-keras banget. Dia masih bisa dengar kalo ibunya ngomong. Karena dia tidak sekurang ajar itu untuk benar-benar menganggap ibunya tak ada.
"Ini seharusnya mama dapat hak asuh kamu." ucap ibunya menatap punggung Miya lurus. "Lihat kamu sekarang kaya anak ga diurus," sambung ibunya sinis.
Miya masih diam. Dia mencoba tenang dan tetep memainkan game nya itu. Dia main game offline, sengaja biar nanti jika ibunya mulai, Miya juga bisa mulai.
"Lihat kamu, pulang sekolah bukannya makan malah main game." ucap ibunya lagi. "Bapak kamu itu benar-benar ayah dan orang tua yang ga berguna!" sambung ibunya berujar sinis.
Miya langsung berhenti main. Dia menyadarkan punggung nya kekursi. Dan memutar kursi itu agar bisa menatap ibunya secara langsung. Tatapan datar dan sorot jenuh.
"Udahlah ma, aku ga mau jadi anak durhaka yang ngebentak mama. Keluar aja lah kalo mama cuman mau ngomong gitu." ucap Miya datar.
"Ini ni contohnya, coba kamu sama mama. Ga bakal kaya gini kamu. Kerjanya main game doang!" ucap ibunya setengah membentak.
"Tau apa mama??" lirih gadis itu lelah.
"Mama tau apa? Tau apa mama kalau kerja aku itu cuman main game," sambung Miya dengan sorot lelah menatap ibunya.
"Ini buktinya!! Setiap mama kesini kamu selalu main game. Dimana tata krama kamu!" bentak ibunya keras. Ibunya meletakan piring itu dilantai.
"Maa, aku main game ada alasanya. Ini hobi aku, biarin aku lakuin apa yang aku suka." Miya berucap lelah. "Bapak ga pernah marah kalo aku main game." sambungnya.
"Ini ni, coba waktu itu kamu milih mama. Ga mungkin hancur masa depan kamu sekarang!" ucap ibunya tajam. "Dia memang orang tua yang ga berguna!" sambung ibunya.
"Tau apa mama!?" Miya sudah emosi. Dia menatap ibunya yang terkejut mendengar bentakan sang anak.
"Mama tau apa?? Kenapa aku main game mama ga tau kan? Kenapa mama seenaknya bilang masa depan aku hancur? Kenapa mama bilang bapak ga berguna!! Tanpa mama tau apa apa." Miya benar-benar sudah tersulut emosi. Dia menatap ibunya penuh amarah.
Gadis itu menenangkan emosi nya yang sudah memebara, menghela nafas keras ketika wanita yang dia panggil mama itu terlihat terluka. Bagaimana pun, wanita ini adalah orang yang mengandungnya dalam waktu yang begitu lama.
"Ma, aku ga masalah kalo mamah mau datang kesini. Kita ngomong baik-baik, kita ngobrol ringan tanpa mama ngehina bapak atau hobi aku," sambung Miya dengan suara pelan dan lebih stabil.
Ibunya masih diam. Dia melukai hati anaknya, wanita itu bisa lihat pancaran kesedihan dan juga sorot jenuh dimata anaknya. "Miya... mama ga maksud-"
"Keluar tolong, ma. Miya cape.." anak itu berujar lemah. Dengan perlahan sang ibu bangkit dan keluar.
Miya mengusap wajahnya kasar, setetes air mata keluar. Dia begitu lemah ternyata.
Miya membuka handphonenya, mencari kontak seseorang.
Werewolf
Ayo mabar sampe gue jadi top global Ruby
Oke.
Hati Miya sedikit tenang, ini salah satu alasannya mengapa dia sering main game. Karena pada dasarnya dia butuh sesuatu yang bisa selalu menghiburnya dan mengalihkan pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAMERS [END]
Teen FictionSejak lama sekali, Miya Helena tidak terlalu memikirkan apapun namanya cinta. Dia terlalu sibuk bermain game, menghabiskan waktu dengan temannya, dan membuat video YouTube. Namun pemuda jangkung bermata tajam itu datang dengan tekat yang begitu kuat...