Bab 6 : Resah

1K 149 20
                                    

***

Keresahan hati selalu membuatku berpikir untuk menyelesaikannya dengan mengakhiri hidup. Tapi, ada satu hal yang membuatku tak ingin melakukannya. Diluar sana masih banyak yang lebih parah dariku.

🌈

Bel pulang, sontak membuat Gera keluar dari lamunannya. Pesan yang tadi ia terima, membuatnya tidak fokus untuk belajar. Bahkan yang ia kerjakan, hanyalah termenung tak jelas.

Dengan perasaan malas, Gera memasukkan beberapa buku yang berada di atas meja ke dalam tas. Cika menatap wajah Gera dengan banyak tanda tanya di kepalanya.

"Ra, lo kenapa deh? Tadi gue liat lo bahkan lebih baik dari yang gue kira. Lah, sekarang kenapa bengong mulu sih? Risih gue liatnya," ujar Cika yang kedengaran ketus, namun menyimpan kekhawatiran.

"Gapapa." Gera membalas dengan cuek.

Cika mendengus kasar dan menepuk pelan bahu Gera. "Semangat, Ra. Jangan biarkan mereka mengambil alih hidup Lo. Lo berhak bahagia, ngerti?" Cika tersenyum, sontak senyum itu menjalar kepada Gera.

Gera mengangguk. "Makasih."

"Hm." Cika melihat jam ditangannya. "Gue pulang dulu, ya! Atau lo mau bareng?" tawar Cika.

"Ntar gue pulang sendiri aja." Gera tersenyum.  "Pulang gih, ada yang nunggu in lo tuh." Gera menunjukkan tangannya mengarah pintu kelas.

Disana terlihat Radit yang sedang berdiri bersandar ke pintu kelas sambil memainkan handphonenya.

Cika nyengir kuda. "Ya udah. Bye, Ra!" seru Cika sambil melambaikan tangannya, yang juga dibalas oleh Gera dengan perbuatan yang sama.

Setelah Cika menghilang tanpa jejak, kecuali jejak kaki walaupun tak terlihat. Gera mendengus kasar, mengusap wajahnya dengan kesal.

Ih, kenapa harus datang hari ini sih? Gak tahu apa, gue cuma pengen sendiri?!

Seperti yang Gera batinkan, Gera memang tak ingin bertemu dengan Shana, sahabat Gera dari mereka memakai seragam merah putih. Bukannya melarikan diri dari masalah. Hanya saja, Gera merasa ia butuh waktu untuk sendiri.

Gera pindah sekolah, bukanlah tanpa alasan. Yang menyebabkan ia pindah adalah ia tak sanggup lagi menahan rasa cemburunya melihat Shana yang berpacaran dengan Bara, sahabat Gera dari SMP. Gera telah berusaha untuk melupakan perasaannya itu, namun percuma. Hingga akhirnya Gera menyerah, ia ingin menjauh dari kedua orang itu. Ia ingin menenangkan perasaannya. Ia ingin menikmati kesendiriannya dengan tenang, tanpa tekanan.

Seminggu sebelum Gera pindah, ia tidak sekolah. Ia menghindar dari Bara dan Shana. Selama itu, ia tak bisa dihubungi. Ketika Shana kerumahnya pun, Gera mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Ia mengurung dirinya di dalam kamar.

Pelan-pelan, Gera bangkit. Ia ingin hidup seperti biasa. Tanpa tekanan. Tanpa ada perasaan sakit. Tanpa beban. Walaupun begitu, Gera belum siap bertemu Shana. Ia masih menginginkan waktu sendiri.

Dan beginilah Gera sekarang, bukannya pulang ke rumah. Ia sengaja berlama di sekolah dengan bermain voli.

Gera mempassing atas bola voli dan menghitung sebisanya. Permainan bola voli adalah permainan olahraga yang Gera sukai dari ia masih menyandang status SD. Bola voli ia kenal, ketika melihat Gio—saudara kandung Gera— memainkan bola itu bersama temannya.

Daripada dengan orang tua, Gera lebih cenderung dekat dengan saudaranya. Gera kecil sering menghabiskan waktunya bermain dengan Gio yang berbeda umur empat tahun darinya. Kemanapun Gio pergi, selalu ada Gera disampingnya.

Grafi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang