Bab 18 : Berhenti sejenak

577 72 1
                                    

***

Kadang kala, ketika kita ingin menghindari suatu masalah. Namun, yang terjadi hanyalah kita sendiri membuat masalah itu kian rumit.

🌈

Aneh. Satu kata mewakili perasaan Gera hari ini. Sekolah terasa suram, bahkan banyak pasang mata tertuju pada Gera saat ia baru memasuki gerbang sekolahnya. Hingga ia pun, hanya bisa menunduk takut, lalu berlari dengan tergesa-gesa menuju kelasnya.

Sampainya di kelas pun, Gera masih ditatap oleh teman-temannya. Dengan gemetaran, Gera berjalan menuju tempat duduk nya. Cika belum datang, sehingga ia hanya bisa duduk dan menenggelamkan wajahnya disela-sela kedua lengannya.

Terbayang dibenaknya tatapan mata dari semua orang yang berpapasan dengannya. Sungguh, rasanya, Gera ingin lari untuk cabut sekarang. Tatapan tajam terus-terusan membuat tulangnya melemas.

Hingga bel berbunyi pun, Cika tak datang. Ya tuhan, Gera butuh Cika sekarang. Mengapa Cika tak datang, disaat genting seperti ini? Gera hanya butuh tempat untuk bertanya.

Pak Andri -Guru Kimia- memasuki kelas X IPA 1, sontak semua mata yang awalnya masih menatap Gera langsung menoleh kepada guru yang masuk itu.

Ara takut...

🌈

Jam istirahat pun datang, namun Gera tak punya kekuatan untuk keluar dari kelasnya. Teman sekelasnya tetap menatap lalu membisikkannya tanpa peduli Gera yang memperhatikan mereka.

Bruk!!

Suara terdengar keras dari pintu kelas X IPA 1.

"GERA MANA?!" teriak seseorang yang membuka pintu kelas itu.

Gera yang awalnya menenggelamkan wajahnya di sela-sela lengan, langsung mengangkat wajahnya. Ia sangat mengenali suara itu. Relyan.

Ketika matanya telah menatap seseorang yang dicarinya, Relyan langsung menghampiri Gera dengan langkah tergesa. Ia sangat khawatir akan keadaan Gera saat ini, ia pun baru mengetahui jika Cika hari ini tak masuk dari temannya yang sekelas dengan Gera. Ia khawatir, berita yang sedang berkembang ini, akan membuat Gera merasa ketakutan. Apalagi, Relyan tau, jika Gera tak biasa jadi pusat perhatian.

"Lo gapapa, Ge?" tanya Relyan khawatir. Relyan mengusap jemari Gera yang gemetaran dengan lembut. "Gak usah, hirauin mereka."

"M-mereka pada k-kenapa sih, Rel?" tanya Gera dengan gugup. "Mereka ngeliatin gue, seakan gue tuh monster yang tak patut ada disini. Mereka kenapa?" lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

Tangan Relyan bergerak mengusap bahu Gera, berusaha menenangkannya. "Mereka cuma iri sama lo, foto lo sama Fito yang lagi dikafe bareng Hana tersebar. Yang nyebarin pun gak jelas siapa, seperti fake account gitu. Tapi, yang jelas, lo harus kuat, Ra. Lo gak sekalinya 'kan seperti ini?" ujar Relyan panjang lebar.

"Ya iya sih, tapi, Rel, bagi gue, masih mending di ejek ataupun ditatap rendahan, daripada harus ditatap kayak gitu. Gue ngerasa ada di dalam rumah macan. Tatapan mereka tuh seakan bilang ke gue 'lo gak pantes ada disini, pergi sana!' gitu," ujar Gera sambil mengerucutkan bibirnya. Ia berusaha untuk tidak menangis. Ia tak mau jadi seorang cewek lemah. Ia harus kuat, harus! Meski batin memaki, berteriak di sana ingin dilampiaskan.

"Lo tenangin diri dulu, Ge. Lo harus bicara sama diri lo sendiri, karena bagaimanapun batin lo tersiksa disana." Relyan menunjuk tangannya ke dada Gera. "Lo harus ngajak batin lo, biar lebih bisa tenang sekarang," lanjutnya.

Gera hanya bisa mengangguk kecil sambil berusaha tersenyum kecut. "Ya udah, daripada lo ngeladenin tatapan orang-orang itu, lebih baik, sekarang lo dengerin lagu pake headset biar batin lo tenang. Oh, iya, lo mau gue beliin makanan di kantin gak?" tanya Relyan.

Grafi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang