Bab 9 : Luka?

1K 125 26
                                    

Jangan lupa votmet zheyeng! Agar cerita ini tetap lanjut, dan memberi author semangat buat ngelanjutin cerita ini, yang sekarang mulai males update:')

***

Setiap luka itu bukannya untuk diratapi atau malah untuk disalahkan. Tapi, untuk dijadikan pelajaran dimasa yang akan datang. Agar ketika luka datang kembali, jadinya terbiasa.

🌈

"Ya udah deh, gimana kalo, sebagai permintaan maaf gue nih ya, gue ngajak lo makan pulang sekolah. Mau gak?" Fito menatap Gera memastikan.

"Modus." Gera tak memperdulikan tatapan Fito. Ia tetap setia menatap langit biru yang cerah.

"Jawabannya simple, tinggal bilang ya atau gak aja, aelah," ketus Fito mulai kesal.

"Gak."

"Gak apaan?"

"Gua gak mau."

"Trus, lo mau apa?" ketus Fito mulai kesal

"Lo minggat dari sini! Lo cuma bikin puyeng pala gue aja!" Gera menatap Fito sambil berdecak kesal.

"Et, enak aja lo ngusir gue. Emang ni sekolah punya lo apa?"

"Kalo iya, emang napa?"

"Idih, iya-in aja biar dia seneng."

"Seneng apanya? Malah kesel bawaannya kalo ketemu lo."

"Lo-nya aja yang sensian jadi cewek."

"Trus, masalah buat lo?"

"Harus gue jawab?" ketus Fito sambil memalingkan wajahnya dari Gera. Ia paling malas berdebat, apalagi dengan keadaannya yang sekarang.

Gera terdiam, hanyut dalam alam lamunan yang membawanya ke dunia yang ia inginkan, menjadi dirinya sendiri disana. Membayangkan hal bahagia, jika dibumi ia tersakiti, setidaknya di alam lamunan ia bahagia. Mau bagaimana lagi? Hidup tak ada yang sempurna. Gera tahu itu, ia hanya menyibukkan dirinya dengan khayalan yang ia tahu tak pernah jadi nyata. Bagi Gera, tak apa berkhayal asalkan tak berharap. Sesederhana itu.

"To?" seru Gera setelah melamun sesaat. Ia menolehkan wajahnya kepada Fito.

"Apaan?" Fito menatap wajah Gera.

"Jika dunia sempurna, tak ada luka, tak ada kekecewaan, dan teman-temannya yang lain. Apa yang akan terjadi?" Gera memalingkan wajah, lalu mendongak menatap langit.

Fito terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Hampa. Seneng terus gak bakal buat hidup kita berwarna. Warna kan bermacam-macam. Ada merah, biru, kuning, dan lain sebagainya. Begitu pula dunia. Ada kecewa, bahagia, sedih, dan lain sebagainya. Ada baik, ada buruk. Ada yang datang ada yang pergi. Ada yang singgah ada yang menetap. Hidup itu sebenarnya tergantung kita yang menjalani. Bukan tergantung apa yang terjadi." Mata Fito menerawang. Ia menatap langit cerah yang tak mampu mencerahkan hatinya. Mendadak Fito bijak mode on.

"Widih. Gue kira, lo gak pernah jadi orang bijak. Gue kira, lo cuma cowok yang bisanya cuma main-main." Gera menatap Fito tak percaya.

"Makanya jangan liat orang dari sampulnya doang," ucap Fito kesal.

Gera tersenyum. "Oke, sip. Setelah gue denger jawaban lo, gue beranggapaan, kalo setiap luka itu bukannya untuk diratapi atau malah untuk menyalahkan. Tapi, untuk dijadikan pelajaran dimasa yang akan datang. Karena luka itu manusiawi. I'm right?" tanya Gera memastikan.

Fito menganggukkan kepala setuju. "Semua itu tergantung kita yang menjalani," ucapnya mengulangi kalimat terakhirnya tadi.

"Tapi, walaupun kita tahu, kadang menjalaninya, terasa berat ya." Gera menatap langit dengan tatapan sayu.

Grafi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang