Bab 19 : Menyerah atau berjuang?

640 73 0
                                    

***

Pada akhirnya, menyerah lebih mudah untuk dilakukan daripada berjuang. Penyesalan pun datang lagi, lagi, dan lagi.

🌈

Hari memang selalu cepat berjalan. Tak sadar, hingga mencapai titik dimana semua siswa-siswi harus mengikuti ujian semester akhir sekolah. Semua siswa-siswi pun harus bersiap-siap untuk begadang disetiap malamnya. Tetapi, tidak semua orang mampu melakukan nya, bahkan mungkin saja ada yang tidak peduli sama sekali dengan ujian tersebut. Wajar, manusia terkadang terlalu santuy terhadap hidupnya. Sampai lupa akan akhirat yang menanti kita untuk pulang. Ujian diadakan minggu depan. Namun, Gera harus terjebak dengan rasa yang harusnya tak pernah ada.

Gera menghembuskan napas lelah, menurutnya sekolah disini memang banyak cobaan yang menghalangi masa depannya. Contohnya saja bertemu Fito.

Sekarang ia tak lagi sapa menyapa lagi dengan Fito, bahkan menoleh ke arahnya saja Gera enggan. Bukannya udah lupa, hanya saja Gera berusaha untuk lupa. Meski, disetiap pertemuan hatinya teriak ingin menjadi seperti yang lalu. Namun, yang lalu telah terjadi, berandai-andai pun percuma. Bagaimanapun, hal yang lalu tak bisa dirubah, kecuali masa depan yang mungkin dengan mudahnya kita susun. Yah, walaupun ketika mewujudkannya tak semudah menyusunnya.

"Eh, Ra! Bengong ae lu! Mikirin apaan sih?" tanya Cika yang tengah duduk di samping Gera.

"Gak ada."

Cika menyipitkan matanya menyelidik setiap gerak gerik teman sebangkunya itu. "Biasanya, cewek kalau bilang GAPAPA biasanya ADA APA-APA lho."

"Aish. Sok lo, ah. Males gue sama lo, saat gue butuh aja, lo gak ada, au ah," ucap Gera kesal sambil menghentakkan kakinya ke lantai.

Cika menatap Gera. "Oh, jadi lo ngambek gegara minggu lalu gue gak sekolah? Lo 'kan tau, gue sakit," keluhnya. Ia langsung memalingkan wajahnya. "Lo cerita kek sama gue, bosen nih, sumpah. Lagian lu juga lagi kayak ada masalah gitu. Cerita pliss." Cika memohon dengan binar dimatanya seperti anak kecil yang sedang meminta permen.

Gera menghembuskan napas lelah untuk kesekian kalinya. "Lo mah, cuma pengen tau, tapi gak ngasih solusi. Ya, percuma kalau gue kasih tau." Gera memalingkan wajah ke jendela yang ada didekatnya. Menatap langit biru yang tengah cerah. "Kenapa sih, di dunia harus ada penyesalan?" keluhnya.

"Coba gue tanya sama lo 'kenapa sih lo gak bersyukur aja?' hidup itu gak ada yang mudah, Ra. Semua orang pasti ngalamin kayak lo. Ya... Kalau lo mau gue kasih solusi buat masalah lo. Lo harus cerita dong, kan, ya." Cika mengedipkan matanya sebelah kanan, dan itu membuat Gera bergidik jijik.

"Gak, ih. Males cerita gue mah."

"Alasan doang. Terserah deh. Gue gak peduli lagi," omel Cika. Ia beranjak dari kursi lalu pergi keluar kelas.

Gera hanya bisa memperhatikan dalam diam. Ia tahu, semua bakal baik-baik aja. Semoga saja.

Saat ini adalah waktu istirahat, namun Gera tak ingin ke kantin. Ia hanya membiarkan Cika pergi. Lagian ia harus menghindari manusia itu. Iya, siapa lagi kalau bukan Fito? Bahkan Gera ingin sekali ikut olimpiade, namun terhalangi oleh Fito. Ia hanya bisa pasrah, tak mau tahu, yang pasti ia tak ingin ikut olimpiade tahun ini, titik gak pakai koma.

Disisi lain, di kantin, Fito dan teman-teman nya tengah berkumpul. Fito awalnya hanya bermain handphone seperti biasanya, namun...

"Hei, kalian pada tau gak Gera kemana? Kok dia gak latihan voli lagi?" tanya seseorang yang berdiri tak jauh dari meja mereka.

Seketika, Fito menoleh kepada seseorang itu dan ternyata ia adalah Erick. Teman mereka sesama Anak Voli.

"Tau tuh, tanya sama Fito aja sana!" seru Arya tanpa menatap yang bertanya, ia tetap fokus mabar dengan Ryan.

Grafi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang