vote aja dulu...
¤__- itu yang cuman baca aja, nggak vote-vote. Nggak tahu hidup apa nggak.Pokoknya ramaikan.
Ayla pov
Aku dan Zen sampe di Mall terbesar di daerah ini. Aku keluar dari mobil hitam milik Zen yang bonyok karna salah dia sendiri.
"Sini, entar hilang," ucapnya meraih tanganku, ia pikir aku anak kecil yang akan kehilangan langkah ditengah orang banyak? Ish bikin kesel.
Zen benar-benar menyeretku bak sapi, langkahnya yang panjang di karenakan kaki terlalu jenjang itu, heh!
Aku melihat sekitar, mereka sedang menatap kami. Tidak. Cewek-cewek itu sedang menatap Zen terkagum-kagum. Aku refleks menatap mereka tajam. Entah apa yang kulakukan saat ini. Rasanya kesal. Hellooo, ingin ku colok mata mereka itu.
"Zen," panggilku dengan nada tidak bisa dibilang lembut.
"Iya, sayang?" sahutnya.
Aku memutar bola mata, "kaki gue sakit, jalannya pelan-pelan dong."
Aku mendengar ia berdecak. Aku bisa menduga ia sedang membatin, ini udah minimal, dasar lemot. Pasti ia sedang mengumpatiku dalam hati.
"Stop," aku berhenti. Mataku menatap berbinar barisan hills itu. Aku pengen beli.
Aku menarik Zen menuju kumpulan sepatu perempuan itu. Mengambil hills hitam polos. Aku suka warna hitam dan putih.
Aku mencobanya, sungguh pas di kaki. Aku menampilkannya kepada Zen, "cocok, nggak?"
Zen melihatnya dengan enggan, cowok emang nggak ngerti apa yang diinginkan cewek.
"Cocok, nggak?" ulangku.
"Hm."
Aku tersenyum kecut. Kapan coba Zen tidak menyebalkan.
Tiba-tiba seseorang menarik rambutku, Ia mengambil ikat rambut milikku.
"Zen," tegurku.
"Apa?" ia selalu memasang wajah tak tahu apa-apa. Memang itu keahliannya.
"Kembaliin," pintaku.
"lo liat kesitu deh," kata Zen.
Aku melirik kearah lelaki paruh baya itu, kemudian mengernyit. Aku kembali melirik Zen. Lelaki itu sedang menepatkan sasarannya dengan mata menyipit, pupil mataku membesar ketika ikat rambut itu mengenai dahi lelaki paruh baya itu.
Zen memasang wajah dingin ketika lelaki paruh baya itu mencari-cari siapa pelakunya. Aku menggeleng. Dasar raja akal.
"Jahil," cibirku.
"Jangan pake ikat rambut lagi," ucapnya.
"Tapi, gerah," protesku.
"Dibilangin, nggak usah pake ikat rambut lagi!" ia mulai menaikan nada bicaranya. Kasar.
Aku menahan kesabaran, "iya!"
Setelahnya kami keliling-keliling nggak jelas dan satu keranjang penuh dengan snack, dan ciki-cikian. Cemilanku habis terus kalau Arya ada di rumah.
"Laper?" tanyanya dengan nada datar sekali.
Aku mengangguk.
"Selesai belanja, kita makan." suaranya memang dominan judes ketus-ketus.
Kami kekasir bersama. Aku tahu ia sedang bosan. Zen terus-terusan berdecak. Ia melihat sebal si nona kasir yang wajib ku akui, nona itu lemot sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Badboy Killer
Jugendliteratur♪「DALAM MASA REVISI」 ♪ BUDAYAKAN PENCET FOLLOW. NO PLAGIAT!! Highest rank!!! #1 in menulis [14/09/2019] #3 in kiss [07/07/19] #2 in perusuh [12/09/2019] #3 in genk [12/09/2019] #2 in nakal [12/09/2019] #2 in troublemaker [21/11/2019] #3 in ceritasm...