B. 25 (Zen Alazxar)

4.3K 291 33
                                    

Maafkeeen jika typo bertebaran 🤫
Voment yak~ lup yu.

.
.

.

Baru saja Ayla ingin masuk kembali kerumahnya. Sebab ia ingin menangis saja. Tapi sebuah genggaman tangan seseorang membuat langkahnya terhenti.

" Dengerin aku dulu, La." Yasa mencegat Ayla.

Ayla berbalik dengan dada yang sesak, matanya mulai berair.

"Aku nggak tahu apa-apa tentang kamu dan Zen, aku berani sumpah."

"Terus? Gue percaya? Gue lelah, Yasa ," desah Ayla.

Yasa memandang Ayla begitu dalam, tersimpan rasa kecewa juga didalam matanya. "Lo berubah, La...."

Apa? Rasanya Ayla tidak terima dengan apa yang diucapkan Yasa. Dia berubah?

"Gue emang berubah, Yasa. Dan perasaan gue juga udah berubah. Jangan tanya apapun. Sebab yang rubah perasaan gue ke elo itu, kakak lo sendiri. Cukup jelas bukan?"

Pada kenyataannya itulah. Yasa harus tahu kalau kepergiannya sudah jadi peluang untuk orang lain masuk kehati Ayla. Siapa sangka itu kakaknya sendiri .

"Tapi sekarang, Zen sudah nggak ada," ujar lelaki itu.

"Maksud lo?" Gawat Ayla sudah salah paham.

"Zen .... Nggak bakal kembali kesini. Dia udah tenang di sana ."

Lagi-lagi kata-kata Yasa sungguh menimbulkan beribu tanya, di benak Ayla.

"Maksud lo dia udah tenang apa, Sa?!" Ayla mendorong lemah Yasa.

Yasa hanya diam. Selalu diam. Tidakkah Yasa tahu Ayla begitu butuh penjelasan!

"Zen baik-baik aja kan, Sa? Bilang kalau Zen baik-baik aja , Sa.... Hiks ... Bilang kalau dia bakal kembali....hiks."

Yasa memeluk Ayla. Hah, siapa tahu perempuan itu menyukai kakaknya. Padahal Yasa cuma bilang pada Zen untuk mengawasi Ayla. Yasa sebatas ingin Zen melakukan itu. Bukan merebut hati gadis Yasa .

Ayla makin menangis tak karuan. Ia memukul-mukul Yasa dengan sisa kekuatannya.

"Yasa....." Panggil Ayla lirih.

Yasa memeluk hangat gadisnya. Yasa sungguh mencintai Ayla. Dari dulu, hingga saat ini.

"Kalau aku tahu kamu suka sama Zen.... Mending aku mati aja, ya, La? Biar kamu nggak kayak gini. Biar aku nggak ngerasain yang namanya luka. Biar Zen nggak usah pergi, biar kamu...."

Ayla melepas pelukan Yasa . "Maksud lo apa ngomong kek gitu? Lo harusnya bersyukur, Sa .... Lo selamat saat kecelakaan. Lo selamat! Dan...." Ayla menahan air matanya. "Dan...Ditto udah nggak ada....hiks."

"Dia yang nabrak aku, La. Dia yang bikin aku jauh dari kamu.... Dia yang buat peluang Zen masuk ke kehidupan kamu!" Yasa mulai geram.

Ayla mundur beberapa langkah, tidak percaya dengan apa yang baru saja Yasa ucapkan.

"Ditto udah mati, Sa! Dan lo salahin dia? Semua ini udah takdir tuhan!"

Yasa tahu semua takdir tuhan, tapi Tuhan begitu tega denganya. "Tuhan nggak adil, La! Harusnya gue nggak usah selamat. Kenapa gue nggak mati aja?"

"Sebenarnya yang berubah itu, elo, Sa. Lo bukan pribadi yang kayak gini ...." Ayla tidak percaya bahwa Yasa berpikiran seperti itu .

Yasa mengepal kuat. Ayla menatap Yasa penuh rasa kecewa. Ini bukan Yasa. Setahu Ayla Yasa pribadi lemah lembut, senyumnya tulus, tidak mudah tersulut emosi. Tapi.... Kenapa? Ahhgh semua begitu membingungkan.

Saat ini Yasa dan Ayla bertengkar. Lalu bagaimana dengan Zen? Apa yang lelaki itu lakukan? Apakah ia baik-baik saja?

Lelaki itu sedang terbaring di rumah sakit. Masih dengan mata sendu yang teramat malas terbuka. Kepalanya pening dan berat. Entah dimana kini kekuatan yang mampu membawa seseorang kerumah sakit itu.

Nafas Zen begitu lembut dan teratur. Wajah yang keras sudah tidak ada lagi. Delikan-delikan tajam yang biasa ia lakukan agar orang segan, kini hilang. Senyum miring khas miliknya nampak tak terukir.

Ketika mata itu terbuka pelan. Mencoba mencari sebuah cahaya. Hingga ia tahu kalau seorang Zen berada dirumah sakit. Tentu saja, rumah sakit ini begitu bau obat-obatan. Rasanya Zen benar-benar bosan.

Menyebalkan. Siapa sangka ia selemah ini?
Tubuhnya seperti tak berfungsi. Mana semua ini begitu melelahkan . Bukan cuma tubuh yang kelelahan tapi hatinya juga.

Zen menipiskan bibir, "mimpi kurang ajar."

Zen mencoba bangun, tapi tubuhnya begitu pegal. Lelaki itu meringis.

Akibat kecelakaan. Tidak, lebih tepatnya akibat punya Ayah seperti Setan. Anak sendiri ditabrak. Memang tidak waras. Otaknya sudah hilang.

Zen menatap kakinya yang patah. Tak lama lelaki itu menghela nafas panjang. Ia kembali termenung. Lama menimang pikiran, ia mengambil handphone di atas meja kecil itu.

Zen bingung, haruskah Ia menghidupkan handphone? Atau ..... Kalau ia menghidupkan handphone pasti sekarang banyak panggilan tak terjawab. Belum lagi Zen takut kecewa. Ya, ada yang mengganjal tentunya.

Sebuah langkah kaki membuat lelaki itu menoleh. Ia tersenyum tipis, menyambut kedatangan kakeknya.

"Semua sudah kakek urus. Kita akan ke New York, setelah dokter ijinkan kamu pulang," kata lelaki itu.

Zen lagi-lagi tersenyum tipis. Senang? Tidak senang? Yaaah, ada beberapa hal yang membuatnya tidak ingin meninggalkan kota ini, terutama meninggalkan sosok wanita dengan tingkah konyolnya itu. Zen tiba-tiba tersenyum. Semudah ia mengingat Ayla.

"Yasa sudah masuk sekolah."

Zen menatap lelaki tua itu, "baguslah. Kakek nggak bilang kan, kalau aku ada disini?"

Lelaki lansia itu menarik nafas panjang. "Ada apalagi dengan kalian? Bertengkar? Kamu sudah besar, hal-hal seperti itu, sebaiknya di hindari."

Zen menggaruk kepalanya," bukan gitu. Setelah dia keluar dari rumah sakit, pasti Yasa nggak mau diganggu. Apalagi aku membuat kesalahan saat Yasa masih berada dirumah sakit ." Zen menatap kebawah.

Zen melihat kakeknya menggeleng kepala. "Masalah perempuan, kan?"

Zen terkekeh , kakek tua bangka ini memang hebat. "Tahu darimana? Dasar stalker!"

"Karena udah tua. Dan sebagai seorang kakek, ya harus mengawasi cucunya."

Zen mendengus. Setidaknya ada yang memperhatikannya. Zen sungguh menyayangi Agara. Kakeknya yang tampan ini. Zen menyayangi Agara lebih dari rasa sayang Zen terhadap Yasa.

"Mars tadi datang, nanya Zen sekarang dimana." Lelaki tua itu duduk di kursi .

"Terus? Pasti kakek bilang."

Yah, jangan harap lelaki tua bangka itu tidak menyatakan kebenaran. Toh Mars adalah cucu ketiga setelah Zen dan Yasa. Pokoknya Mars itu udah dianggap cucu.

"Iya. Kata dia ada yang ngamuk-ngamuk, pengen tahu dimana kamu."

Zen mengernyit. Sampai Mars turun tangan gini. Apa jangan-jangan, Ayla sedang mencari Zen? Ah nggak mungkin. Ayla kan lebih senang Yasa berada disampingnya, dibandingkan Zen.

Zen terkekeh. Rasanya ia mulai sakit kepala, kalau memikirkan Yasa, Ayla, dan dirinya .





.
.
Sorry😥😥 janjinya Rabu, eh ternyata Kamis. Huwaaaaa, aku tuh udah diusahakan buat up, cuman paketnya abis😑 maafin aku, ya. Nggak bakal janji lagi kapan update 😭

Udah, see you~😓



Badboy KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang