41. (Rumah Sakit)

1.3K 119 30
                                    

Sekian lama gak up, akhirnya author up lagi 😣 maaf kalau ada typo
.
.
.

.

.
.
.

Pagi-pagi Ayla sudah menghela nafas. Semalaman tidak bisa tidur memikirkan Zen. Bukan hanya Zen, Ia juga memikirkan Arya.

"Huuuh. Harus gimana?"

Iya. Ayla harus bagaimana? Kemarin ia benar-benar gagal mencoba tidak mengurusi hidup Zen lagi, mencoba memutus perasaanya. Haha, entah apalagi yang tuhan rencanakan. Lelaaaah sangat lelaaaah. Tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk selanjutnya.

Ayla segera mandi untuk menyegarkan kepala juga tubuh. Meski pikirannya masih mengitari Zen, bahkan sampai selesai mandi Ayla masih dibuat berpikir.

Maya mengerutkan alis melihat anak perempuannya tengah melamun di sofa. Hari ini kedua anaknya nampak berbeda. Arya tidak mau keluar dari kamarnya, dan itu membuat Maya bingung sebab biasanya lelaki itu keluyuran tak jelas. Lalu Ayla sedang melamun dengan tatapan kosong. Apa mereka bertengkar. Tapi Maya sering kok melihat Ayla dan Arya bertengkar. Atau ada masalah lain?

"Ayla," panggil perempuan paruhbaya itu.

Ayla menengok.

"Kamu ada masalah apa sama kakak mu? Ayla bisa cerita ke Mama," ucapnya begitu lembut sembari mengusap rambut panjang milik Ayla.

Gadis berambut panjang itu menimang-nimang untuk diam saja atau berbicara. Melihat Mamanya tersenyum hangat, Ayla merasa kesedihan mulai merasuk ke jiwanya.

Ayla memeluk Maya dengan mata berkaca-kaca. Padahal Ayla tidak ingin menangis lagi, tapi hatinya selalu tidak tahan.

"Anak Mama udah gede, kok nangis terus sih? Di hapus air matanya," kata Mama.

Ayla menghapus air matanya, meski itu hanya sia-sia dan air matanya terus berjatuhan di pipi.

"Masalah Zen, kan? Ayla gak boleh nangisin cowok," Kata Maya lagi dengan lembut penuh dengan hawa keibuan yang membuat Ayla merasa dikuatkan. Ayla mengangguk.

"Ma.... Kak Arya berantem.... sama Zen," ucap Ayla tidak berani menatap mata mamanya yang pasti kelihatan kaget.

Maya melebarkan pupil matanya, "loh? Masalah apa?"

"Masalahnya itu karna Ayla. Ayla nggak tahu harus gimana... hikk... Zen masuk ke rumah sakit tadi malam," dengan sesegukan Ayla menceritakan dan Maya mendengarkan dengan sabar.

"Kak Arya marah dan ngamuk di club sambil mukulin Zen.... Dan sekarang Zen di rumah sakit karna Ayla, hiks... Ma, Ayla salah, Ayla yang bikin Kak Arya mukulin Zen, dan Ayla juga yang buat Zen sekarang di rumah sakit."

Maya menghela nafas, "Arya marah karna dia nggak mau adiknya di sakitin laki-laki," kata Maya.

Ayla menggeleng, "Ayla tahu, tapi Kak Arya jangan mukulin Zen sampe nusuk Zen pake pisau."

"APA?!" Maya terkejut bukan main. Pake pisau? Tentu Arya sudah kelewatan batas. Maya harus memarahinya sekarang juga.

Maya berdiri dengan wajah marah. Ayla segera menahannya untuk tidak memarahi Arya. "Mah... Jangan marahin Kak Arya. Ayla yang salah udah suka sama Zen." Ayla sesegukan dan menggeleng kepala.

"Masalahnya bukan itu Ayla. Tapi Kakak kamu itu mau jadi pembunuh? Mama nggak pernah ajarin kalian buat nyakitin orang lain!" Maya sendiri juga kecewa mendengar Arya melukai orang, apalagi sampai membuat seseorang terluka hingga dirujukan ke rumah sakit.

Arya yang mendengar seseorang menangis, segera keluar dari kamarnya. Dan ternyata itu Ayla juga Mama-nya. Lelaki itu menghampiri keduanya dengan mulut terkatup. Cepat lambat pasti Ia akan dinasehati.

"Arya!" Tegas Maya. Perempuan paruh baya itu terlihat serius. Sedang Ayla merasa bersalah sudah bercerita. Tapi Ia juga harus mengatakannya karna Maya adalah ibunya yang akan memahami situasi anak-anaknya.

"Mama sudah bilang jangan berantem lagi! Gimana kalau Zen....huhhh." Maya menghela nafas, mencoba mengontrol emosinya. "Kamu mau jadi pembunuh?"

Pertanyaan itu hanya ditanggapi dengan wajah keras Arya. Setidaknya lebih baik memasang wajah batu dibanding menyahut orang tua.

Melihat Arya yang diam tak melawan sudah Maya anggap kalau Arya juga merasa dirinya berlebihan hingga melukai orang.

"Samperin Zen dan minta maaf." Bukan sebuh permintaan tapi sebuah titah dari orang tua yang melahirkannya.

Raut muka Arya mulai berubah, "tapi ma, dia udah sakitin adikku."

Mendengar kata-kata itu Ayla sangat tersentuh. Kakaknya sangat perduli kepadanya.

Maya menatap tajam Arya, "sangat wajar Arya kalau kamu marah ketika adikmu disakiti. Tapi untuk melukai orang secara fisik mama nggak setuju. Pergi minta maaf."

Arya sedang sibuk melawan egonya. Tentu saja Ia juga gengsi meminta maaf. Mulutnya akan kaku dan membeku.

Arya akhirnya menghela nafas, "iya."

Setelah berkata seperti itu Ia pergi kekamarnya tanpa basa-basi lagi. Maya membiarkan putranya itu untuk merenungi apa yang sudah Ia perbuat.

"Ayla ganti bajumu, kita kerumah sakit," kata Maya.

Mau tidak mau Ayla harus ikut, meski Ia tidak tahu harus bagaimana nanti jika telah sampai dan berhadapan dengan Zen. Duuh membuat Ayla tidak tenang.

🌸🌸🌸

Sesampainya di rumah sakit bersama Mamanya. Ayla terus gelisah dan mengekor Maya. Tingkah anaknya itu sudah terbaca kalau belum siap bertemu Zen lagi.

Pintu terbuka dan kini pandangan terarah pada lelaki yang tengah lelap dengan perban di bagian dadan juga di kepalanya.

Miris. Maya sungguh tidak menyangka Arya hebat menghajar orang sampai sebegini parahnya.

Dan rupanya ada Kivyar juga baru masuk.

"Tante? Ayla?"

"Sttt ...." Ayla memberi kode agar Zen tidak terbangun karna suara Kivyar. Bukanya apa, ia hanya bingung harus melakukan apa jika Zen bangun.

Kivyar menarik Ayla keluar, sementara Maya tetap di dalam ruangan.

"Kenapa?" Datar Ayla.

"Bener itu Arya yang hajar?" Pertanyaan itu membuat Ayla malas menjawab dan hanya mengangguk.

Kivyar tersenyum halus. Lucu sekali seorang Zen babak belur padahal Ia petarung yang handal. Sampai segitu parah bisa Kivyar tebak kalau Zen merasa bersalah dan tidak mau melawan. Bagaimanapun itu impas menurut Kivyar. Zen sendiri yang membuat masalah, harusnya Zen juga yang menyelesaikan, entah dengan cara apapun itu.

Ayla menatap Kivyar lalu teringat seseorang, "mana Mars?"

"Aneh."

Kata-kata yang Kivyar ucapkan itu membuat Ayla mengernyit.

"Dia bilang mau ketemu orang spesial, mungkin pacarnya." Kivyarpun ragu dengan apa yang Ia simpulkan. So, Mars susah ditebak.

Ayla tersenyum hambar. Pacar yang mana? Daya tarik Mars kepada perempuan lain itu 1% saja. Sungguh aneh jika Ia memiliki tunangan.

Yaa, bagaimanapun semua orang memiliki takdir cintanya masing-masing.

"Kata Mars dia udah lama gak nemuin pacarnya, menurut lo dia halu atau gimana? Perasaan dia gak punya pdkt-an di sini," ujar Kivyar kebingungan.

"Udah lama, akhirnya dia berani nemuin pacarnya," gumam Ayla.

Ayla melirik pintu masuk ruangan Zen. Ia segera masuk, dan ternyata Zen sudah bangun. Parahnya mata mereka bertemu membuat Ayla menjadi kaku.

Ingin menanyakan apakah Zen baik-baik saja, tapi Ayla tahu kalau Zen tidak baik-baik saja. Lalu haruskah Ayla hanya diam? Rasa canggung sialan, membuat lidah kelu saja.

..

Gak tahu dehh😣
Jangan lupa vote dan komen. Makasih
LailyCiel_



Badboy KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang