Pagi ini cukup cerah. Udara yang bertiup sangat segar. Asap dan polusi masih sangat jarang. Membuat Disa terbangun dengan senang.
Waktu masih menunjukkan pukul 06:15. Artinya, ia masih memiliki waktu sekitar lima belas menit lagi untuk bersiap ke sekolah.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju jajaran pot bunga di halaman rumah. Berbagi macam bunga tersusun rapi dalam wadah plastik. Senyumnya terbit kala melihat sebuah bunga yang akan mekar. Sangat cantik dan imut, pikirnya.
"Dek!"
Suara Linda mengharuskannya menoleh ke arah belakang. Ia bangkit dan berjalan mendekat.
"Ya, Kak?"
Linda tertawa. Ia memperhatikan raut wajah adik sepupunya itu dengan pandangan jahil. Ditatapnya kedua mata gadis itu. "Kamu abis dandan?"
Disa menganga tak percaya. Apa-apaan pertanyaan konyol kakaknya ini. Bisa berdandan saja, tidak. Mana mungkin ia berani menggunakan alat mengerikan itu.
"Nggak, Kak. Aku nggak bisa dandan. Kenapa juga kakak nanya kayak gitu?"
Linda kembali tertawa. Ia mengelus sayang adiknya itu yang memiliki tinggi sebatas telinganya. "Kan Kakak udah banyak beliin kamu kosmetik, Dek. Kenapa nggak pernah dicoba?"
Disa spontan menggeleng. Ia menatap horor kakaknya itu dan mencoba melepaskan pegangan Linda di pundaknya.
"Aku nggak pernah minta dibeliin, Kak. Lagian, mending uangnya ditabung aja. Kakak kan, udah cukup umur buat nikah. Hehe."
Linda menjitak kepala adiknya itu cukup keras. Membuat Disa meringis sakit. Masih dengan sisa tawanya, gadis itu mencubit pipi gempal adiknya.
"Dedek yang imut dan lucu, umur 23 buat Kakak itu masih belum terlalu matang untuk nikah. Lagian, pacar Kakaknya juga kayak belum siap. Kakak ya, nggak bisa maksain dia."
"Ah, masa sih? Besok-besok ajak main, ya. Aku pengen liat pacar Kakak."
Linda hanya menanggapi dengan senyum kecil. Ia pun mendorong adiknya itu untuk segera masuk ke dalam rumah.
"Udah jam setengah tujuh. Berangkat, gih!"
Disa tertawa cekikikan. Ia masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil.
***
Bel istirahat baru saja berbunyi. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas dengan bermacam-macam tujuan. Namun delapan puluh persen di antaranya sudah bisa dipastikan menuju kantin.
Disa merapikan semua alat tulis yang berserakan di atas meja. Memasukkannya ke dalam laci. Icha yang merupakan teman sebangkunya sudah duduk rapi dengan menyilangkan kedua tangannya di atas meja. Terlihat kontras dengan perilakunya sehari-hari.
"Mau pada ke kantin?" tanya Disa saat setelah semuanya selesai berbenah.
"Yoi, dong. Perut gue udah bunyi terus, nih." Nita mengapit leher Nanda, membuat empunya tercekik.
"Eh, buset. Lepas ceu!"
Nita tersenyum malu. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Maaf ya, maaf."
Nanda hanya melirik tajam, lalu mengibaskan rambut sebahunya sambil membuang muka.
"Ah, elo!"
Nita menyenggol bahu Nanda dengan keras. Yang lagi-lagi membuat gadis itu melontarkan protesan.
"Diem, Sarnitaaa!" Nanda memajukan wajahnya sambil mengatupkan rahang. Membuatnya terlihat sangat berbahaya.
Nita salah tingkah sendiri, membuat Disa dan Icha tertawa puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
Teen Fiction[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...