*16*

1.8K 81 3
                                    

Pagi yang cerah ditambah udara yang segar memang sangat menyejukkan. Namun, hal itu tak membuat Disa bermangat untuk bangun di pagi hari. Terbukti, gadis itu masih bergelung dengan selimut tebal dan guling yang empuk.

Tok... Tok... Tok...

"Dek, pagi ini Kakak ada acara kumpul bareng sama temen kuliah. Kamu bangun, ya. Jangan lupa sarapan, Kakak udah siapin nasi goreng spesial buat kamu."

Disa menggeliat dari tidurnya. Matanya sedikit memicing saat sinar matahari mengintip di balik gorden. Gadis itu pun terduduk dan segera bangkit menghampiri kakaknya yang masih berada di balik pintu.

Senyum mengembang menyambutnya saat pintu terbuka. Linda memegang sepiring nasi goreng dengan beragam sayuran yang tersaji. Aneka seafood menusuk indra penciumnya, membuat Disa langsung membuka mata lebar-lebar.

"Nasi goreng spesial buat adik yang paling manis."

Disa menyengir lebar. Ia mengambil alih piring itu dari tangan sang kakak. Menghirup aromanya kuat-kuat sambil memejamkan mata.

"Kakak emang yang terbaik." Disa mencium pipi Linda cepat. "Makasih, Kak."

Linda balas menciumnya. "Sama-sama, Dek. Ya udah, ya. Kakak mau siap-siap dulu. Temen Kakak ada yang mau ke sini ngejemput Kakak. Jangan lupa habisin makannya, minum susu juga. Kakak udah siapin kamu susu kotak di kulkas."

Disa merasa sangat berterimakasih kepada kakaknya itu. Kakaknya sangat perhatian dan cenderung memanjakannya. Ia sangat beruntung memiliki Linda dalam hidupnya.

"Iya, Kak. Nanti aku habisin. Hati-hati ya, Kak."

Setelah mengusap puncak kepala Disa, Linda meninggalkan gadis itu. Sebelum kembali ke kamar, ia menyempatkan untuk menyicipi udang yang tersaji di sana. Rasanya sangat lezat. Kakaknya memang pandai memasak.

Tung... Tang... Tung...
Tung... Tang... Tung...
Tung... Tang... Tung...

Disa terdiam cukup lama. Gadis itu meraba saku celananya. Saat tak menemukan apa yang dicari, dengan cepat ia masuk ke dalam kamar dan mengingat-ingat di mana terakhir kali dirinya menyimpan ponsel.

Gue lupa matiin alarm.

Piring itu disimpan di atas nakas. Tangannya sibuk menggeledah kamar tidurnya. Setiap barang ia geserkan. Termasuk lampu tidur dan buku-buku yang terletak di meja belajar.

Saat suara berhenti, Disa pun menghentikan kegiatannya. Gadis itu mengerutkan dahi bingung dan kembali berusaha mencari benda persegi panjang tadi.

"Kok durasinya pendek banget, ya? Perasaan gue udah setel yang paling lama."

Saat menyingkap selimut, ponselnya tergeletak tak wajar di sana. Posisinya terbalik dengan layar yang sangat kusam.

Disa mengambil ponselnya. Saat jarinya mengetuk layar sebanyak dua kali, tiba-tiba panggilan dari nomor tidak dikenal masuk. Dahinya semakin berkerut dalam, matanya berusaha menghafal beberapa digit angka yang tertera di sana, namun gagal. Ia tak berhasil mengetahui nomor siapa yang berusaha memanggilnya.

Dengan perasaan sedikit cemas, gadis itu menekan tombol hijau di jajaran opsi pilihan. Degup jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Dirinya hanya takut jika orang yang meneleponnya adalah seorang penipu ahli atau penjahat kelas atas. Bahkan, ada kemungkinan jika orang itu adalah pembunuh. Disa menggeleng cepat. Berusaha menyingkirkan segala macam pikiran buruk dalam kepalanya.

"Halo!"

Dengan suara yang terdengar bergetar, gadis itu menyapa si pemanggil.

"Ya, halo."

Cukup lama tak ada respon, hingga suara serak dari seberang sana membuat semua bulu kuduknya merinding.

Disa bergidik ngerti. Gadis itu melirik arlojinya, jam masih menunjukkan pukul 07:22 am. Masih terlalu pagi untuk para penjahat dalam melancarkan aksinya.

"Mbak, saya sudah ada di pertigaan komplek perumahan Mbak. Di keterangan lokasinya, rumah Mbak ngambil jalur kanan. Itu benar, Mbak?"

Disa berjengit kaget. Gadis itu menatap horor ke arah ponselnya. Tak menyangka jika benar ada yang ingin berbuat jahat kepadanya.

"Ma-maaf, Pak. Bapaknya dengan siapa, ya?"

Sekujur tubuhnya sudah bergetar. Gadis itu berbaring dan menutupi wajahnya dengan selimut. Pikiran buruk itu sangat mengganggu. Apalagi kakaknya mungkin sudah berangkat. Tinggal lah dirinya sendiri di rumah.

"Saya pengantar paket, Mbak. Mbaknya dengan Disa, benar?"

Mengetahui itu, Disa langsung mengembuskan napas lega. Dadanya terasa ringan dan napasnya kembali normal.

"Iya, saya dengan Disa, Pak. Bapak ngagetin saya aja, saya kira Bapak ini penjahat. Maaf ya, Pak. Hehe." Disa menurunkan selimut yang menutupi wajahnya itu. Gadis itu menggaruk pipinya yang tiba-tiba terasa gatal.

Orang di seberang sana terkekeh kecil. "Sudah, nggak papa, Mbak. Jadi, rumah Mbak ambil jalur mana? Saya bingung, soalnya saya pernah salah alamat."

"Tapi saya nggak pernah beli sesuatu dari online. Temen saya juga nggak pernah ada yang ngirimi saya paket." Disa memainkan bibirnya bosan.

Tukang kurir itu terdengar berguman. "Saya nggak tau, Mbak. Saya cuma antarin paket dari pusat."

"Lah, terus? Saya nggak pernah ngerasa ada yang mau kirim saya paket, Pak. Berarti itu bukan milik saya."

"Di sini tujuan penerimanya itu tercantum nama Mbak, Mbak. Jadi, izinin saya anterin paketnya. Saya cuma tugas. Nanti saya dimarahin sama bos saya gimana, Mbak?"

Disa mendesah keras. Gadis itu bangkit dan berjalan ke nakas. Perutnya sudah sangat lapar. Gadis itu menyambar piring, dan menyantap nasi goreng pemberian kakaknya tadi.

"Ya, itu bukan urusan saya, Pak. Saya nggak pesen apa-apa. Lagian, siapa nama pengirimnya?"

"Dari Toko Blizt Elektro Kuningan, Mbak."

"Dari namanya aja saya nggak kenal itu toko apa, apalagi isi paketnya." Disa berbicara sambil terus mengunyah. Sedikit aneh, tetapi ia senang meladeni nomor nyasar seperti itu.

"Mbak, tapi di sini nama Mbak-nya tertulis sebagai pihak penerima. Saya hanya pengantar, Mbak. Setelah Mbak tanda tangani surat tanda terima, saya nggak bakal mohon-mohon lagi."

Merasa iba ia mendengarnya. Ia hanya takut jika isi dari paket itu adalah sesuatu yang membahayakan.

Gue takut isinya bom. Nama tokonya aja ada elektro-elektro gitu. Serem.

"Yang jelas, itu bukan paket saya, Pak. Bapak teliti lagi yang bener. Nama saya Hanandisa."

Setelah mengatakan itu, Disa menutup sambungan telepon secara sepihak. Gadis itu menyuapkan satu sendok penuh nasi goreng ke dalam mulut dan mengunyahnya penuh tenaga.

Tung... Tang... Tung...
Tung... Tang... Tung...

Disa menggeram kesal. Lagi-lagi nomor tak dikenal itu. Dengan penuh emosi, ia mengangkat panggilannya.

"Ya halo, Pak. Saya lagi makan. Itu bukan paket saya. Kenapa Bapak ngeyel banget, sih?! Jangan ganggu saya lagi. Saya nggak punya waktu buat ladenin—"

"Sweetheart Hanan Kebo?"

Gadis itu langsung terdiam. Sekujur tubuhnya kaku. Apa-apaan ini? Dirinya seperti gadis bodoh yang penuh emosi.

"Sweetheart, lo gak papa?"

***

Halo, assalamualaikum.

Selamat Hari Pramuka (:

Follow instagram: @intansaadah30

Salam, intansaadah123

Gerhana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang