"Haha, lo makin lengket aja sama Disa, Ger!" Levin menyikut lengan Gerryl. Tangannya yang lain memegang gelas berisi moccacinno late.
Gerryl mengeryit, lalu tertawa. "Dia lucu banget, sumpah. Mukanya sering merah kalo gue liatin."
Gerryl telah sampai di kediaman super megah Fedri. Mereka tengah duduk di kursi mini bar di kamar cowok itu. Kamarnya difasilitasi berbagai kebutuhan tersier. Seperti mini bar, play station versi terbaru, perpustakaan pribadi kecil, satu set perlengkapan sofa, satu lemari kaca berisi miniatur senjata, walk in closet, hingga televisi besar yang terpampang di dinding kamar. Tak heran jika Fedri diberi itu semua, orang tuanya super kaya yang memiliki bisnis hingga ke mancanegara.
Ziko bergerak cepat, cowok itu memutar kursi untuk menghadap Gerryl. "Kejadian itu nggak luput dari salah sangka. Haha, gue masih inget waktu lo nyapa si Disa pake nama Nanda. Kocak lo!"
"Itu semua kan, ulah si Wanda." Fedri menyesap kopi susunya dengan hati-hati. Asap masih mengepul di atas cangkir yang membuatnya harus menikmati setiap sensasi nikmat dari kopi itu.
"Nah, betul! Lagian ya, ngapain sih lo deket-deket sama dia, cewek masih banyak, Bro. Stay calm aja."
Gerryl melirik tangan Ziko yang bertengger mulus di bahunya. Cowok itu sangat-sangat bisa membuatnya risi. Mulut dan tangannya seolah tercipta hanya untuk menggangguinya saja.
"Tangan lo, woy. Lepas!"
Ziko menarik tangannya sambil menunjukkan deretan giginya. Cowok itu kerkekeh garing melihat tatapan menusuk Gerryl.
"Lagian kan, ya... Kalo emang kejadiannya kayak gitu, itu salah si Wanda, ngapain dia bilang 'pokoknya yang paling jelek dari mereka. Gelek banget, deh'?" Levin menatap Gerryl, Ziko dan Fedri bergantian. "Pasti kalian mikirnya jelek secara fisik, kan? Atau lebih sederhananya, ngeliat muka sama badannyanya yang paling kurang bagus, gitu."
Ketiganya kompak mengangguk.
"Kalo menurut gue, semua cewek itu nggak ada yang jelek. Malahan, yang jelek itu mereka yang ngehina orang lain buat ngeroketin popularitas."
Semuanya menolehkan kepala ke arah Fedri. Cowok paling pendiam itu sangat jarang berbicara, namun sekalinya bicara, ia akan tepat sasaran. Seperti sekarang ini.
Levin menjentikkan telunjuk. Cowok itu menyesap tegukan terakhir moccacinno late miliknya dan tersenyum tampan.
"Gue setuju sama Fedri. Cantik fisik itu nggak bakalan pernah bisa ngalahin cantiknya hati. Boleh aja secara fisik mereka cantik, tapi kalo hatinya kurang baik, kan jelek."
Mereka kompak tertawa bersama. Fedri menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum miring.
Drrtt... Drrtt..
Drrtt... Drrtt..Semuanya terdiam. Menatap ponsel Gerryl yang bergetar, menandakan satu panggilan masuk. Cowok itu melirik kecil dari ujung matanya, melihat nama si pemanggil.
"Friska?"
Gerryl menoleh ke arah Ziko yang sedang menutup mulutnya dengan tangan. Cowok itu menahan tawanya agar tidak pecah.
"Jangan-jangan, lo belum sempet batalin dinner lo sama dia?" akhirnya, tawa Ziko pun pecah. Cowok itu sampai berpegangan pada ujung meja bar agar tubuhnya tak oleng.
Gerryl mendelik kesal. Cowok itu menaruh telunjuknya di depan bibir. Mengisyaratkan untuk diam.
"Halo, Sayang!"
Gerryl menekan tombol loudspeaker di layar ponselnya. Terdengar suara embusan napas di seberang sana. Gerryl melirik tiga sahabatnya yang tengah tersenyum lebar sambil mendengarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
Teen Fiction[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...