Mungkin minggu ini akan menjadi akhir pekan yang indah bagi sebagian orang yang tengah berbahagia. Beda halnya dengan gadis berambut sebahu itu. Gadis itu terus menangis sambil tersenyum mengejek. Mengejek pantulan dirinya di cermin yang sangat berantakan dan kusut.
Dirinya telah membatalkan semua rencana yang telah disusunnya bersama tiga sahabatnya. Mungkin hari ini matanya akan sembap karena Disa tak berhenti menangis dari usai salat subuh tadi.
Dengan langkah gontai, gadis itu berjalan ke ruang makan. Mencari sesuatu yang dapat dimakan. Disa membuka kulkas dan menemukan beberapa sayuran mentah di sana, seperti kubis, wortel, paprika, brokoli, dan masih banyak lagi.
"Nggak ada sup atau sarden kaleng gitu?"
Tanpa pikir panjang, gadis itu mengambil kubis dan memakannya. Dengan wajah yang memerah, Disa menikmati setiap gigitannya yang penuh tenaga.
Kunyahannya terhenti saat seseorang menarik kubis dari genggamannya. Gadis itu mendongak dan menemukan Linda tengah menatapnya tajam.
"Dek, kenapa makan kol, sih? Kan Kakak udah siapin catatan di pintu kulkas. Kamu nggak baca, ya?"
Gadis itu menggeleng. Sambil mengusap air mata, Disa melirik sebuah kertas kecil yang tertempel di bagian depan pintu kulkas. Tangannya mengambil kertas itu kemudian membacanya.
"Dek, Kakak nggak masak apa-apa. Kakak lagi sakit kepala sama nggak enak badan. Kalo kamu lapar, beli makanan aja di warteg Mang Ucup, ya."
Disa menatap Linda sambil menganggukkan kepalanya. Gadis itu perlahan berhenti menangis. "Katanya Kakak lagi sakit, kok nggak di kamar aja istirahat, huh?"
Linda mengembuskan napas kasar. Gadis itu menatap heran adiknya. "Kamu kenapa nangis lagi, Dek? Tuh liat, mata, idung, pipi kamu semuanya merah. Kenapa, sih?"
Disa menggeleng. Hanya gelengan kecil yang sangat mencurigakan.
"Masalah kemarin? Udah, nggak usah dipikirin lagi. Sekarang, kamu temuin Nanda, gih. Dia udah nungguin kamu di depan. Kakak suruh masuk, nggak mau."
"Nanda?"
"Iya."
Perasaan gue udah batalin ikut mereka main. Kok Nanda ke sini, sih?
Dengan niat yang sedikit cacat, Disa melangkah pelan menuju pintu. Cepat-cepat, gadis itu membukanya dan menemukan Nanda tengah tersenyum kecil di sana.
"Halo, Dis," sapanya ramah.
Disa menoleh ke kanan dan kiri. Alisnya sedikit berkerut. "Lo sendiri, Da?"
Dengan impulsif, Nanda menagkup kedua pipi Disa. Matanya memicing tak suka. Garis wajahnya terpancar kekesalan yang tiba-tiba muncul.
"Nangis? Karena Kak Gerryl?"
Disa melepaskan tangan Nanda dari wajahnya. Gadis itu menggeleng pelan dan tersenyum. "Gue nggak nangis. Cuma tadi ada nyamuk gigit kelopak mata gue, jadi agak sembap gini."
Bulu mata Nanda menyatu tebal. Bibir merah jambunya sedikit terbuka sambil memiringkan kepalanya. Gadis itu menatap Disa lekat
Buru-buru, Disa memalingkan wajah. Ia menutupnya dengan sebelah tangan. "Nggak usah liatin gue segitunya kali, Da. Gue nggak papa."
"Alasan lo nggak bisa diterima sama akal pikiran gue. Masa nyamuk bisa kompak gigitnya di tempat yang sama? Kelopak mata lo ada dua, Dis. Secerdas-cerdasnya nyamuk, nggak bakal lebih cerdas dibanding manusia."
Disa menggaruk pipinya sambil mengerling. Gadis itu menggerutu dalam hati. Merutuki kebodohannya.
"Um, anu... gue, gue, oh iya. Kan yang satunya digigit nyamuk, terus gue nangis, soalnya gatel banget. Eh, kelopak kirinya juga ikutan sembap. Kebanyakan nangis, jadinya pengen senasib."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
Подростковая литература[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...