"Baiklah, cukup sekian pelajaran hari ini. Assalamu'alaikum."
Pak Aria keluar sambil menjinjing tas transparan berisi buku-buku dan data siswa.
"Wa'alaikum salam."
Semuanya langsung berdiri saat setelah memastikan Pak Aria sudah melenggang jauh. Bertepatan dengan itu, bel pulang berbunyi. Sontak saja semuanya mengemas barang mereka dan pergi pulang.
Disa mengemasi semua alat tulis yang ia gunakan selama jam pelajaran. Tangannya masih sibuk merapikan tempat pensil yang sangat berantakan.
"Dis, gue duluan, ya."
Gadis itu menoleh, mendapati Icha dan Nita. Disa tersenyum simpul dan mengangguk. Gadis itu melambaikan tangan saat keduanya mengucapkan kalimat selamat tinggal.
Setelah semuanya selesai. Disa langsung berjalan keluar sambil menggendong ransel hitamnya. Gadis itu melangkah ringan menyusuri koridor yang mulai sepi.
"Dis, tunggu!"
Disa menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan matanya langsung berhadapan dengan wajah Nanda yang tertunduk sambil berlarian.
"Eh, eh... stop!" gadis itu menghentikan langkah Nanda yang masih saja melajukan kecepatannya.
Nanda menyengir kecil dan mendongak. Menatap Disa polos. "Eh, ternyata udah nyampe."
Disa menunjukkan deretan giginya, takjub melihat Nanda yang mengeluarkan cermin sekaligus maskara dari sakunya. Gadis itu langsung beraksi dengan dua barang kebesarannya itu.
"Tuh kan, kebanyakan nunduk, bulu mata gue jadi turun. Harus dilapis lagi, biar makin anti badai."
Disa menelan salivanya perlahan. Matanya sibuk memperhatikan tangan Nanda yang lihai bergelut dengan cermin dan maskara. Matanya berapa kali berkedip saat gadis itu bertingkah genit dengan pantulan dirinya sendiri.
"Gue lagi nunggu Pak Smith, Dis. Gue lupa ngabarin dia tadi."
Disa hanya mengangguk sambil menatap lurus. Keduanya melangkah meninggalkan sekolah dan berjalan menuju halte. Tempat itu cukup ramai, dipenuhi oleh beberapa siswa sekolahnya yang sedang menunggu angkutan umum atau hanya sekadar menunggu jemputan seperti Nanda.
Disa dan Nanda memilih untuk menunggu sambil berdiri. Kursinya terlalu sempit untuk ukuran tubuh keduanya. Maskipun begitu, banyak pula gadis yang memilih melakukan hal yang sama seperti dirinya.
Disa melirik Nanda yang masih menundukkan kepala, sibuk dengan ponselnya. Sesekali, gadis itu akan mendecak dengan mata yang masih terpaku pada benda persegi panjangnya.
"Pak Smith lama banget, sih!"
Nanda mengembuskan napasnya kesal. Gadis itu mengentakkan kakinya berkali-kali.
Disa hanya tertawa. Dirinya sudah biasa menunggu seperti ini. Jadi baginya, hal itu sudah sangat familier dan terkesan biasa saja.
Matanya menoleh ke arah lain. Tak sengaja tatapannya menangkap sosok Aya tengah menyandarkan punggungnya di pilar halte. Gadis itu pun tak jauh berbeda dengan Nanda, sibuk bercengkrama dengan ponselnya.
Tak lama, sebuah angkutan umum berhenti. Semua orang berdesak untuk masuk, kecuali dirinya. Gadis itu hanya diam, ia sudah yakin jika tak akan mendapat tempat.
Senyumnya merekah saat melihat masih ada beberapa gadis yang bernasib sama sepertinya. Matanya masih dapat melihat kehadiran Aya di sana, mungkin gadis itu pun berjiwa lelet seperti dirinya.
Suara knalpot motor sangat nyaring dan memekakkan. Disa menyatukan kedua alisnya. Matanya menoleh untuk melihat siapa pengendara tak tahu malu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
Teen Fiction[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...