Pagi ini merupakan pagi termalasnya. Cowok itu sangat tidak ingin berpergian ke mana pun, termasuk menemani Ola pergi ke salon.
Gerryl bangkit menuju pintu dan berjalan menuju dapur. Cowok itu melihat papanya yang dengan cekatan mengoles roti di meja makan.
"Ger, sarapan!"
Gerryl mengangguk dan menghampiri sang papa. Perlahan, ia menarik kursi. Mata cowok itu tak luput memperhatikan papanya.
"Papa nggak ke kantor?"
Papanya itu menoleh dan tersenyum. "Nanti jam sembilan, Papa ada meeting sama klien. Kenapa, Nak?"
Gerryl pun mengangguk. Cowok itu menggeleng sambil mengambil dua helai roti di atas piring.
"Nggak, Pa. Gerryl cuma tanya."
"Oh, iya. Tapi Papa harus siap-siap sekarang, karena seingat Papa, masih ada beberapa dokumen yang belum Papa baca. Ada berkas yang harus Papa tanda tangani juga. Jadi, lebih cepat lebih baik."
Sekali lagi, Gerryl hanya mengangguk. Cowok itu merasa sedikit kasihan dengan Papanya. Papanya itu seakan terlalu disibukkan dengan urusan bisnis, hingga kurang memperhatikan kehidupan sekitarnya.
"Tapi Papa akan tetap tunggu kamu sampai selesai sarapan, Nak," sambung Papa.
Gerryl menyuapkan roti ke dalam mulutnya. Ia menatap wajah Papanya yang sangat tampan. Dirinya mewarisi beberapa kesamaan dengan sang Papa, seperti garis bibirnya yang memiliki belahan, sorot matanya yang tajam dan cara tersenyum yang sama.
"Gerryl ke kamar dulu, Pa. Gerryl tinggal, ya."
Mendapat anggukkan dari Papanya, cowok itu kembali berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Jika harus membandingkan, kamarnya memiliki luas yang tak kalah berbeda dengan milik Fedri. Hanya saja, kamarnya tak difasilitasi mini bar, namun ada beberapa gitar yang tergantung rapi di dinding.
Cowok itu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Tangannya sibuk menekan layar ponselnya yang sedang dibanjiri oleh beberapa pemberitahuan dari berbagai aplikasi yang ia gunakan.
Bosan dengan semua itu, pikirannya tiba-tiba teringat akan Disa. Dirinya ingat jika pernah meretas informasi data siswa yang berada di buku induk sekolah lewat laptopnya. Dan ia menemukan profil gadis itu di sana. Dengan cepat, Gerryl menyalin nomor ponsel dan menyimpannya.
Setelah usai, cowok itu langsung berinisiatif untuk menghubungi Disa. Hebatnya, di dering kedua, panggilannya sudah terhubung.
Sedikit terkejut saat mendapati gadis itu memarahinya. Namun, dirinya bersikap normal tanpa merasa ada yang salah.
Yang sangat mengejutkan, Disa memiliki suara yang sangat nyaring. Gadis itu tertawa puas dengan gelombang yang luar biasa. Telinganya sampai berdenyut sakit.
Sekelebat ide jahil tiba-tiba muncul. Tak ada salahnya jika ia mencoba mengerjai gadis itu.
"Telinga gue denyut-denyut gitu. Lo harus tanggung jawab obatin gue, Sweetheart!"
Gerryl tidak menyangka akan reaksi yang diberikan Disa. Sungguh, dirinya ingin tertawa saat itu juga.
"Ah, gimana jelasinnya, Ya Allah. Aku bingung. Maafin aku, Kak. Aku nggak ada niatan buat bikin Kakak kesakitan gitu."
Cowok itu menggembungkan mulutnya saat mendengar suara cemas Disa. Terdengar sangat menggemaskan.
Dengan kemampuan akting yang dimiliki, Gerryl segera mengancam Disa untuk berkunjung ke rumahnya. Tak tanggung-tanggung, cowok itu memang sudah matang merencanakan semua, ia mengirim letak lokasi rumahnya.
Setelah menutup sambungan secara sepihak, ia tertawa dengan sangat lepas. Tangannya pun sudah memegangi perutnya. Dirinya sangat merasa puas.
Berhasil!
Gerryl harus menunggu Disa. Baginya, mnunggu adalah salah satu hal yang sangat membosankan. Maka sambil menunggu, cowok mencoba memainkan gitarnya.
Satu jam telah berlalu. Ia terlalu hanyut dalam permainannya. Merasa tak yakin jika gadis itu akan menemuinya, Gerryl pun mengambil tindakan untuk menyambangi kediaman Disa.
Ia berlari menuruni tangga, matanya tak menemukan sang papa saat melewati ruang keluarga. Mungkin sudah berangkat kerja, pikirnya.
"Bi Isah, Bi Eni, Gerryl mau keluar dulu."
Gerryl membuka pintu garasi dan mengeluarkan motornya. Tanpa melakukan pemanasan pada mesin, cowok itu langsung menjalankan motor dengan kecepatan tinggi.
Gerryl tahu, jarak keduanya sangat jauh. Membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk bisa sampai ke rumahnya. Namun, cowok itu bisa menyingkatnya hanya dengan satu jam perjalanan. Tak lain dan tak bukan adalah dengan mengebut.
Motornya melaju dengan cepat. sejauh mata memandang, indra penglihatnya menangkap seorang gadis yang tengah menatap bangunan di sekitarnya. Gerryl tersenyum dan segera menghampiri gadis itu.
Cowok itu melihat Disa tengah memicingkan mata saat jarak keduanya hanya berkisar lima meter.
Tepat saat motornya telah berhenti di samping gadis itu, Gerryl membuka helmnya. Dengan segera ia ubah wajahnya sedrastis mungkin dari satu menit yang lalu.
"Udah di sini, Sweetheart? Gue kira lo bakal lari dari tanggung jawab lo."
Agar mendukung drama yang akan dimulainya, cowok itu sengaja menghunuskan tatapan tajam miliknya. Bibirnya sudah ingin melengkung membentuk senyuman saat melihat Disa seperti ingin menangis.
Dan, dirinya mematung saat tubuh kecil itu mendekapnya erat. Matanya membelakak tak percaya.
Terdengar suara isakan kecil di telinganya. Mungkinkah gadis itu menangis?
"Kakak boleh marah sama aku. Kakak boleh benci sama aku, tapi aku mohon ... maafin aku. Aku nggak ada niatan sedikit pun buat nyakitin Kakak. Aku minta maaf."
Gerryl merasakan kaos hitam polosnya basah di bagian bahu. Ternyata benar, Disa menangis.
Sebegitu besar kah rasa tanggung jawab lo sama gue?
Perlahan, ia membalas pelukan Disa. Tanganya mengusap puncak kepala gadis itu dengan sangat lembut.
"Nggak papa, Sweetheart. Gue baik-baik aja."
Gerryl sedikit kaget saat gadis itu melepas pelukannya secara kasar. Matanya menatap dengan tatapan penuh rasa salah. Cowok itu mengerutkan dahinya.
"Kakak nggak papa, kan? Telinganya nggak sakit lagi, kan? Aku mohon, maafin aku."
Gerryl tersenyum teramat manis. Cowok itu menggeleng pelan. Namun, raut wajahnya langsung berubah saat melihat gadis itu mundur beberapa langkah darinya.
"Kalo Kakak berniat mau jauhin aku, atau pura-pura nggak kenal lagi sama aku, aku nggak papa. Aku juga bakal pura-pura nggak kenal sama Kakak, asalkan Kakak maafin aku. Aku nggak punya uang buat bawa Kakak periksa ke dokter. Aku minta maaf."
Gerryl merasa ada sesuatu yang menyakitkan menusuk dadanya. Tatapannya semakin tajam. Hatinya merasa tak ikhlas dengan niat gadis itu untuk menjauh.
Dengan gerakan cepat, ia segera turun dari motor dan berjalan menghampiri Disa. Tubuh gadis itu membeku saat dirinya memeluk tubuh kecilnya dengan penuh perasaan. Gerryl menghirup dalam-dalam aroma sampo gadis itu. Sangat lembut dan menyegarkan.
"Gue nggak papa, Sweetheart. Sakit gue udah hilang dari tadi. Gue cuma mau ngetes seberapa tanggung jawabnya lo sama sesuatu yang lo lakuin."
Ia mengecup puncak kepala Disa. Pelukannya semakin erat. "Jangan ngejauh dari gue atau milih buat pura-pura nggak kenal sama gue. Karena mulai detik ini, gue ngerasa nggak akan pernah bisa jauh dari lo lagi, Sweetheart Hanan Kebo."
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
Teen Fiction[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...