*29*

1.5K 84 0
                                    

"Sweetheart."

Matahari sudah benar-benar tenggelam di upuk barat. Sinarnya kini berganti dengan pancaran cahaya pantulan bulan yang dihiasi gemerlapan bintang.

Angin bertiup kencang, namun sangat menyenangkan. Burung-burung berhenti berkicau, digantikan dengan sunyi yang ada, selain ombak yang mendebur.

Disa menoleh. Gadis itu memperhatikan mata Gerryl yang memandang ke arah atas. Menatap langit malam yang dipenuhi bintang.

Tangan cowok itu menggenggam tangannya. Ibu jarinya sesekali mengelus lembut permukaan atas telapak tangan Disa.

"Makasih. Gue seneng banget dengernya."

Gerryl menoleh padanya. Rambutnya tertiup angin yang menyebabkan bergelombang indah. Matanya menyiratkan kebahagiaan yang sangat kentara.

Tangan Disa terulur ke arah dahi cowok itu. Membenarkan beberapa helai rambut yang jatuh dan hampir menghalangi tatapan matanya.

"Aku nggak pernah nyangka ini bakal terjadi sama aku. Kakak terlalu tinggi buat aku. Sekadar mimpiin Kakak juga rasanya aku nggak akan pantes."

Gerryl menghentikan gerak jari Disa di dahinya. Cowok itu menggeleng dan mengecup kecil tangannya. Bibirnya masih melengkungkan senyum yang tak pernah sirna saat bersama gadis itu.

"Mau tau sesuatu, Sweetheart?"

"Apa, Kak?"

Tangannya menggenggam erat tangan Disa. Matanya memejam, menerawang jauh ke masa lampau. "Kenangan kecil gue."

Gadis itu mengangguk tertarik. Matanya berbinar terang. Selama ini dirinya memang tidak tahu banyak tentang Gerryl. Apalagi masa lalunya.

Setelah mengembuskan napas, cowok itu mendekatkan tubuhnya dengan Disa. Tangannya masih setia menggenggam tangan kecilnya. "Gue suka main mobil-mobilan di teras rumah. Temen kecil gue nggak banyak, karena gue sering pulang pergi ke London.

"Yep, gue blasteran Indonesia-Inggris. Mama gue asli London, Papa gue orang Jakarta. Mereka ketemu di Yogyakarta 20 yang lalu. Waktu itu, Papa kerja jadi pemandu wisata di salah satu tempat bersejarah di sana. Mereka akrab karena Papa ahli bahasa Inggris dan Mama juga tertarik sama Papa karena dia humoris."

Disa fokus memperhatikan mata coklat tua Gerryl. Cowok itu sesekali tersenyum kecil atau tertawa saat mengingat masa itu. Seolah dirinya pun ikut merasakan apa yang orang tuanya alami.

"Caroline Evans, itu nama Mama gue. Nama gue diambil dari nama akhir Mama, Gerryl Evans. Gue nggak pernah pake nama Papa, gue cuma nggak mau orang lain tau kalo gue ini anak pengusaha sukses kayak Papa sekarang." cowok itu terkekeh saat melihat raut wajah Disa yang berubah masam.

"Nggak mau nunjukkin anak orang kaya, tapi style-nya luar biasa." Disa tersenyum kecil. "Namanya cantik ya, Kak. Pasti Mama Kakak juga cantik."

Gerryl hanya tertawa sambil mengusap puncak kepala gadis itu. Bibirnya mengerucut saat mengetahui rambutnya mulai berantakan.

"Iya, cantik banget. Makanya Papa suka. Setahun kemudian, mereka nikah. Tepat waktu itu, Papa usianya baru 21 tahun. Mama gue lebih tua, mereka selisih dua tahun."

Gadis itu tersenyum mendengarkan. Keluarga Gerryl sangat bahagia. Ceritanya pun sangat indah. Mudah dirangkai oleh pikiran dan tercerna menjadi imajinasi.

"Beberapa bulan setelah nikah, Mama hamil. Dia ngandung gue. Kata Papa, Mama bahagia banget pas tau kalo dia hamil. Waktu kandungannya udah lumayan tua, Mama selalu ajak gue bicara. Tentunya pake bahasa Inggris. Maskipun mereka tinggal di Jakarta, Mama masih gunain bahasa Inggris buat dipake sehari-hari.

"Tepat usia kandungan Mama delapan bulan, Papa terpaksa ajak Mama buat keliling Jakarta. Katanya, terakhiran sebelum masa akhir kehamilan. Mama terus paksa Papa buat nurutin kemauannya, karena Papa nggak tegaan, Papa ya nurut aja."

Disa mengangguk. Binar matanya semakin jelas terpancar. Sudut bibirnya semakin melengkung. "Terus?"

Gerryl tersenyum kecil. Perlahan senyumnya memudar. Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah. Kepalanya sedikit tertunduk.

"Abis itu, mobil Papa kecelakaan."

Disa membulatkan matanya dan menutup mulut. Melihat tubuh Gerryl yang sedikit gemetar membuat tangannya langsung memeluk tubuh tegap cowok itu. Matanya memejam, berusaha menyalurkan kehangatan di tengah embusan angin pantai.

Gerryl tak langsung memeluknya. Cowok itu menatap lurus ke depan. Tangannya meremas pasir putih kuat.

"Ada mobil truk di depan Papa yang tiba-tiba rem dadakan. Papa yang bawa mobil lumayan ngebut itu langsung banting setir ke kiri dan nabrak trotoar."

Gadis itu semakin mengeratkan pelukan saat tangan Gerryl mulai membalas pelukannya. Memeluknya lembut.

"Papa luka di bagian jidat, Mama pendarahan hebat. Karena mereka masih sadar, Papa langsung bantu Mama buat keluar dan ngebawa Mama ke rumah sakit naik taksi. Banyak warga yang ngebantu, tapi Papa udah kalang kabut. Darah Mama keluar banyak banget. Papa nggak peduli yang lain lagi selain pengen ngeliat Mama baik-baik aja.

Karena terpaksa, Mama harus lahirin gue di usia kandungan delapan bulan, kalo nggak, nyawa gue bisa terancam. Nggak lama setelah gue lahir, Mama meninggal."

Gadis itu pun terisak. Isakan kecil sukses menembus indra pendengar Gerryl. Cowok itu pun meteskan air matanya. Wajahnya menceruk di lekukan leher Disa. Pelukannya semakin mengerat.

Innalillahi wainnailaihi radjiun.

"Sepeninggal Mama, Papa besarin gue sendirian. Dia nggak suruh baby sitter buat ngurus gue. Dia sayang banget sama gue, tapi sikap Papa nggak humoris kayak yang dibilang tadi. Papa jadi lumayan dingin dan terus kerja, kerja dan kerja sampe Papa jadi orang sukses kayak sekarang."

Disa menepuk-nepuk punggung Gerryl saat cowok itu semakin menenggelamkan kepalanya di cerukkan lehernya. "Kakak kuat. Mama sama Papa Kakak sayang banget sama Kakak."

"Dari situ, gue sering pulang pergi London. Ketemu Nenek sama sanak saudara dari Mama gue. Gimana pun juga, Nenek gue nggak pernah marahin Papa. Nenek cuma bisa ikhlasin kepergian Mama, karena cuma itu kunci satu-satunya.

"Gue genit, punya banyak cewek, apalah itu, semuanya cuma pelampiasan. Gue nggak pernah nemuin kebahagiaan lain selain liat foto almarhumah Mama."

Gerryl melepas pelukannya. Cowok itu menatapnya dalam. Sangat dalam. Sorotnya teduh dengan sisa air mata yang masih menggenang di ekor mata.

"Tapi semuanya beda pas gue ketemu lo, Sweetheart. Lo itu kayak jadi kebahagiaan tersendiri bagi gue." Gerryl memegang pundaknya. "Gue nggak ngerti sama semuanya. Kenapa harus lo, kenapa nggak cewek lain aja? Tapi gue seneng, Sweetheart. Karena lo, gue jadi tau gimana rasanya jatuh cinta untuk kedua kalinya setelah cinta pertama gue sama Mama."

Disa menatap cowok itu sambil menautkan kedua alisnya. Menunggu lanjutan kalimat yang akan terucap dari mulut manis Gerryl.

"Gue nggak pernah ngerasa sedeket ini sama cewek. Sama lo, dunia gue jadi lebih hidup. Nggak terlalu datar, apalagi monoton. Sama lo, gue tau, kalo perasaan emang bisa tumbuh karena nyaman. Dan nyaman itu faktor dari keterbiasaan. Gue udah terlalu terbiasa deket sama lo, jadi, jangan pernah jauh dari gue. Jangan pernah tinggalin gue. Tanpa lo, hidup gue kembali mati."

***

Halo, assalamualaikum...

Gimana chapter ini menurut kalian? Makin greget nggak, hehe XD. Btw, maaf banget untuk akhir-akhir ini Intan kurang konsisten update, banyak tugas sekolah juga masalah kehidupan nyata yang emang mau nggak mau ya harus dijalani. Maaf yaaaaa temen-temen.

Oh iya, gimana weekend kalian? Besok senin lho, semangat ya.

Follow instagram: @intansaadah30

Salam, intansaadah123

Gerhana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang