Hujan turun dengan deras. Pagi ini jalanan ibu kota tampak sangat lenggang. Beberapa pengendara memarkirkan motornya di tempat yang teduh. Sangat kontras dengan kepadatan lalu lintas kota Jakarta.
Disa masih sibuk dengan ponselnya. Gadis itu akan memesan ojek online untuk mengantarnya pergi ke sekolah. Sebuah pesan singkat dari Linda mengharuskannya untuk membaca.
Kak Linda
Dek, Kakak bakal pulang agak telat. Nanti sore, Kakak ada meeting sama client. Pulang jangan lupa makan. Kakak udah siapin kamu sup di kulkas. Nanti kamu hangatin aja di microwave.Disa tersenyum kecil. Gadis itu sungguh beruntung memiliki kakak sepupu yang sangat perhatian dan peduli seperti Linda.
Hanandisa
Siap, Bu Bos.Tak lama, seorang driver online datang menghampiri. Disa buru-buru naik dan memakai helm. Beruntungnya, hujan telah reda. Membuat para pengendara tadi bisa kembali melanjutkan perjalanan mereka.
***
"Bapak kan sudah bilang, minggu depan harus mengumpulkan tugas. Masa semuanya lupa? Kalian kompromian atau bagaimana?"
Semuanya menunduk karena takut. Pak Hilman memang sangat emosional dan selalu tepat sasaran. Guru bimbingan konseling yang satu itu sudah sangat terkenal akan sikapnya yang tegas dan berwibawa. Namun, berbeda dengan satu kelas yang dihuni oleh 33 siswa itu. Kelas itu seakan selalu membuat masalah dengannya. Terbukti saat upacara senin minggu lalu, seluruh siswa kelas XI IPS 2 kompak tidak memakai topi saat upacara berlangsung, membuatnya naik pitam dan menghukum mereka dengan lari jongkok di lapangan.
"Tidak ada yang berani menjawab?" Pak Hilman menatap satu persatu muridnya yang sangat ia kenali sering membuat ulah dan keluar masuk ruang BK. "Boni, Cepi, Irwan, Ridho, dan Toni, mana suara kalian, huh?"
Seketika itu, bulu kuduk kelimanya menegang. Mereka semakin menunduk takut. Maskipun sering berbuat ulah dan tak tahu malu, kelimanya akan langsung diam jika harus dihadapkan dengan guru mantan TNI ini.
Pak Hilman beralih menatap ke arah belakang. Matanya yang tajam bertubrukan langsung dengan mata kecil Disa. Membuatnya membelalak kaget.
"Hanandisa!"
Dengan spontan, Disa menjawab, "Ya, Pak."
Tanpa mengucapkan sepatah kalimat, Pak Hilman berjalan menuju meja di mana Disa dan Icha duduk. Dengan cepat, kedua gadis itu menegakkan posisi duduknya dan menatap lurus ke arah depan.
"Hana, segera buka buku tugas kamu, Bapak akan memeriksanya."
Seketika itu, semua siswa yang tadinya bisa bernapas sedikit lega harus menahan napas. Mereka meratapi nasib yang akan menimpa mereka beberapa menit yang akan datang.
Disa dengan sigap membuka buku tugas miliknya. Memperlihatkan catatan terakhir yang sempat ia tulis di sana.
Pak Hilman mengambil dan menelitinya. Matanya sedikit memicing, membuat alisnya menyatu. Dan itu sangat menyeramkan. Kombinasi yang sangat tidak pas. Alis tebal dengan mata tajam. Membuat siapa saja takut untuk menatapnya.
Setelah usai, Pak Hilman menaruh buku itu di atas meja. Matanya menatap Disa tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang juara kelas melakukan hal konyol semacam ini.
"Kenapa tadi kamu diam? Kamu menyelesaikan tugas Bapak dengan baik. Dan kenapa saat Bapak tanya, siapa yang mengerjakan tugas, kamu tak mengakuinya!"
Disa menunduk dalam. Tangannya menyikut lengan Icha yang masih mempertahankan posisi tegaknya.
"Teman-temanmu yang memerintahkannya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
أدب المراهقين[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...