*36*

1.7K 75 3
                                    

Halo, assalamualaikum. Ah, Intan speechless geng. Nggak tau harus ngomong apa, Intan nggak bisa ngomong apa-apa lagi selain makasih dan makasih banyak. Makasih yang udah setia baca dari awal sampe sekarang, Intan seneng banget, suer!

Semoga chapter ini bisa lebih dapat feelnya ya. Ya udah sih, itu aja dulu. Enjoy ya~

Oh iya, lupa... Setelah ini mungkin tinggal beberapa chaper lagi sebelum ending. Udah siap ending nggak?

Happy reading^^

***

Ini adalah hari ketiga di mana dirinya bolos sekolah. Disa berubah menjadi introver saat mengetahui semua fakta yang disembunyikan itu.

Matanya semakin sembap, bahkan tak terlihat. Setiap malam dirinya akan menangis dan menangis. Memang seterpuruk itu dirinya. Gadis itu merasa terasingkan.

Tok... Tok... Tok...

Disa semakin menenggelamkan wajahnya di balik selimut. Dirinya tak pernah keluar kamar jika Linda ada di sekitarnya. Gadis itu baru akan keluar jika kakaknya sudah tidur. Yaitu tengah malam untuk mengganjal perutnya.

"Dek!"

Hening. Tak ada sahutan dari gadis itu. Disa menggeleng lemah. Kekanak-kanakkan memang, namun hanya dengan cara itu hatinya bisa merasa sedikit lebih tenang.

"Dek, jangan mogok makan gini. Kakak takut kamu sakit."

Disa menatap pintu dengan tatapan nanar. Mendengar Kakaknya selalu memintanya untuk keluar kamar dan makan bersama membuat hatinya berdenyut sakit.

Gadis itu melirik ponselnya yang tergeletak sembarang di nakas. Dirinya menghidupkan benda pintar tersebut dan melihat banyak sekali notifikasi dari teman-teman kelasnya. Ratusan pesan lain kembali berdatangan, Disa merasa sangat bersalah telah mematikan ponselnya.

"Kakak udah taro bubur di depan pintu kamar, ya. Jangan lupa dimakan. Oh, iya, ada tiga sahabat kamu main ke rumah. Mereka mau jenguk kamu." terdengar helaan napas pendek. "Kalo gitu, Kakak samperin mereka dulu, ya. Nggak enak ninggalin tamu kayak gini."

Ngejenguk?

Disa baru ingat, jika ia beralibi sakit untuk menutupi bolos sekolahnya. Memang sakit, jika hatinya sedang tidak baik, raganya pun terasa menolak untuk diajak berkompromi dengan pikiran jernihnya.

Gadis itu kembali menangis. Dirinya merasa tidak berguna saat ini. Bahkan kakak yang selalu melindungi, menaruh perhatian banyak padanya, dan menyayanginya itu tak memberikan rasa percayanya pada Disa.

"Gue mungkin jadi orang terakhir yang tau soal ini. Kenapa Kak Linda tega banget sama gue?! Gue udah lakuin apa pun yang gue bisa buat bantu Kakak, tapi masalah kecil kayak gini aja, Kakak gak pernah kasih tau gue."

Disa terisak dengan suara yang amat pelan. Gadis itu beberapa kali mengurut pelipisnya demi menghilangkan pening yang tiba-tiba datang. Dengan langkah gontai, dirinya berjalan menuju pintu. Saat membuka pintu, gadis itu menemukan satu nampan berisi semangkok bubur beserta air mineral. Perlahan, tangannya menggeser nampan tersebut ke arah samping. Dirinya sedang tidak lapar.

Disa harus menemui tiga sahabatnya. Bagaimana pun juga, mereka pasti menghawatirkan dirinya.

Sepi.

Gadis itu berjalan menuju ruang tamu. Terdengar beberapa percakapan yang sedikit tak jelas. Penuh kehati-hatian, Disa muncul di balik dinding yang memisahkan ruang keluarga dan ruang tamu.

"Hai."

Sontak saja semuanya menoleh. Menatap gadis itu dari atas hingga bawah. Disa tersenyum canggung. Dirinya menghampiri keempat orang yang tengah dikejutkan dengan tampilannya.

Gerhana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang