Suasana kantin sangat ramai. Siang ini banyak sekali siswa yang menghabiskan waktu luangnya di sana. Selain karena memang banyak yang sedang beristirahat setelah berolah raga, juga banyak yang hanya sekadar menjadikan tempat tongkrongan untuk bolos pelajaran.
Dua hari berlalu. Semuanya terasa begitu indah bagi Disa. Gadis itu selalu merasa tak pernah menyangka jika Gerryl akan melakukan semua itu untuknya.
"Weekend mau ke mana, Girls?"
Nita menyuapkan snack jagung bakar ke mulut. Tangannya sibuk mengaduk bubur yang dipesannya tadi.
"Bagi, dong!" Nanda merebut kemasan snack itu dari tangan Nita. "Kalo mau sarapan, ya tadi, pas lo datang ke sekolah, bukan jam sembilan kayak sekarang."
Nita memberengut kesal. Tangannya menyuapkan bubur hangat itu dengan rakus. Mengunyahnya pun penuh tenaga dan alisnya bertaut dalam.
"Weekend main aja."
Icha menautkan kedua tangannya sambil memperhatikan lebih intens cara Nita makan.
Nita melirik sebal. "Cha, ngapa liatin gue?"
"Heh?"
"Nih buat lo aja. Lo lapar, kan?"
Icha semakin tak mengerti saat Nita menyodorkan mangkuk bubur padanya. Tampilannya sudah tak menentu. Kerupuk yang lembek dan hampir semua permukaannya berwarna putih.
"Gue nggak nafsu, Nit. Disa mungkin suka bubur, gue nggak terlalu hobi."
Disa menyengir. Gadis itu menggeleng cepat sambil mengibaskan tangan. "Nggak ah, Nit. Bubur lo udah acakadul gitu."
"Sampe ngeliatnya juga enek."
Nanda memberikan kembali snack jagung bakar Nita pada empunya, lalu tertawa. Gadis itu sangat menikmati eksperesi terkejutnya.
"Kok beda, sih? Gue malah suka yang diaduk-aduk, biar kecampur semua."
Disa mendekatkan mangkuk bubur itu pada Nita, yang langsung disambut baik oleh gadis itu. Tak membutuhkan waktu lama, Nita sudah menyelesaikan kegiatan makannya.
"Jadi nanti kita fix main, oke. Gue jemput kalian sama Pak Smith. Kebetulan kalo weekend itu, mobil suka nganggur." Nanda mendecak senang.
Semuanya kompak mengangguk. Pergi berlibur di akhir pekan memang salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu bagi sebagian besar orang, termasuk Disa. Gadis itu sudah membayangkan berbagai macam hal yang akan dilakukannya bersama tiga sahabatnya.
"Eh, kok perut gue mules, ya? Gue ke belakang dulu. Kalo udah bel, langsung ke kelas aja, jangan tungguin gue, oke?"
Wajah Disa memucat sambil memegangi perutnya. Gadis itu bangkit dan langsung berlari menuju toilet tanpa menunggu tanggapan tiga sahabatnya.
Jarak toilet terdekat cukup jauh. Sekitar dua puluh meter dan melewati dua taman serta satu koridor. Koridor itu berisi tiga ruangan. Ruang seni musik, ruang seni tari dan ruang seni teater.
Disa berlari cepat sambil terus memegangi perutnya. Terdengar bunyi petikan senar gitar yang diiringi elemen lain. Seperti drum dan bas.
Gadis itu sempat menoleh ke arah ruang musik, matanya sedikit menerawang di balik jendela tinggi.
"Nggak jelas siapa. Nggak ada yang nyanyi."
Dengan cepat, Disa melanjutkan kegiatan berlarinya kembali hingga gadis itu sampai di toilet.
Toilet sangat lenggang. Hanya ditemukan beberapa siswi yang sedang berkaca di cermin besar yang sengaja disediakan oleh sekolah di salah satu dinding toilet. Tak lama, gadis itu sudah selesai dengan urusan alamnya.
Disa keluar dari dalam bilik sambil tersenyum lega. Tanpa ada niatan untuk menoleh ke arah cermin, gadis itu segera pergi meninggalkan toilet dengan perasaan yang sangat luar biasa tenang.
Bel belum berbunyi, itu artinya, dirinya masih harus menemui tiga sahabatnya di kantin.
Perjalanan panjang dilalui dengan senyum lebar dan ditemani oleh gumaman kecil yang merupakan lagu kesukaannya.
Sepertinya semua ruangan tadi tengah dipadati oleh anggota ekskul yang sedang berlatih. Terbukti dari suara-suara berisik dari dalam masing-masing ruangan.
Gadis itu menoleh dan memperhatikan. Sedikit pun, dirinya tidak pernah tertarik mengikuti ekskul, apalagi yang dapat menguras tenaga dan emosi.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Napasnya tercekat dan seakan semuanya runtuh.
Disa menutup mulutnya dengan tangan. Matanya masih menatap tak percaya. Semua ototnya terasa lemas saat mengetahui fakta yang sedang dilihatnya barusan.
Hatinya terasa berdenyut sakit. Dari kejauhan, matanya menangkap Aya sedang duduk di salah satu kursi panjang di depan ruangan musik. Gadis itu terperangkap oleh satu tangan yang sedang menatapnya intens.
Kak Gerryl.
Disa semakin membelakak saat melihat Aya yang menutup matanya dan Gerryl yang semakin memajukan wajahnya. Gadis itu merasa jatuh sejatuh jatuhnya. Dirinya merasa terhempas oleh kenyataan pahit yang sudah seharusnya ia persiapkan jika ingin bermain hati dengan Gerryl.
Dia ... sama Aya?
Tak ingin berlama-lama di tempat itu, Disa segera mengembuskan napasnya perlahan. Matanya memejam menikmati rasa sakit yang tengah dirasakannya. Gadis itu tersenyum kecil. Sangat konyol memang jika harus tersenyum di saat suasana hati sedang sakit.
Munafik banget gue!
Secepat kilat, dirinya berjalan melewati dua remaja itu. Dari sudut matanya, ia bisa melihat, jika Aya sudah membuka matanya dan tengah membelalak kaget. Mungkin karena mendengar suara langkah kaki. Gadis itu segera menjauh dan menutup wajahnya malu.
"Ehem, maaf numpang lewat."
Disa terus berjalan sambil menundukkan kepala. Ekor matanya masih bekerja dengan baik dan hatinya terus berdenyut sakit. Paling menyakitkan adalah saat mengetahui jika reaksi Gerryl hanya menoleh tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Cowok itu langsung membuang wajahnya saat setelah menangkap sosok Disa.
Jika ingin berterus terang, dirinya merasa tersiksa. Ribuan mata panah terasa menancap tepat di ulu hatinya. Air matanya pun menetes. Namun Disa segera mengelapnya kasar. Dengan perasaan yang mulai kacau, gadis itu berlari menuju kelasnya. Dirinya bahkan melupakan tujuan awalnya untuk kembali menemui sahabat-sahabatnya di kantin.
Dengan langkah lebar, ia sudah mencapai di ambang pintu. Kelas masih ramai dengan kerusuhan teman-temannya. Disa berjalan ke arah kursinya. Gadis itu menarik tas dan segera menutup wajahnya.
"Gue cuma mainannya, lagi?" Disa tertawa hambar saat mengatakannya.
Gadis itu mulai terisak akan semua kebodohan yang selalu bisa menjerumuskannya pada kesialan.
"Gue cuma satu dari banyak cewek yang udah masuk perangkapnya. Nggak lebih!" Disa mengusap air matanya. "Tapi kenapa harus gue? Kenapa harus Hanandisa Ananta yang jadi korbannya? Gue nggak pernah mimpi kok buat deket sama Kak Gerryl. Gue juga nggak pernah mau ngebayangin gimana Kak Gerryl bisa seromantis kayak kemarin sama gue. Gue nggak tau. Gue bego!"
Seseorang menepuk bahunya. Lalu duduk di kursi milik Icha. "Kenapa lo, kok nangis?"
Gadis itu masih menyembunyikan wajahnya di balik tas ransel.
"Nggak, Ham. Gue nggak nangis."
Ilham tertawa kecil. Cowok itu membalikkan tubuh Disa agar menghadap padanya. "Nangis lo itu kedengeran sampe gerbang sekolah, njer. Jangan ngelak! Muka lo merah kayak gitu. Seitem-itemnya lo, kalo nangis bisa merah juga, ya. Haha."
Disa menonjok lengan Ilham kuat. Gadis itu meringis merasakan sakit yang menjalar ke seluruh otot lengannya.
"Lemah lo. Coba lebih kuat lagi! Lo boleh cerita sama gue. Nggak tega gue ngeliat lo nangis kejer kayak tadi, kayak cacing kejepit batu. Haha."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Gerhana [COMPLETED]
Teen Fiction[LENGKAP] Dia Gerryl Evans, cowok dengan sejuta pesona yang mampu menarik siapa saja untuk mendekat. Si pemilik iris coklat tua tajam itu selalu berhasil menjungkir balikkan dunia para gadis yang mencoba masuk dalam hidupnya, termasuk Disa, gadis se...