Thirty

739 118 5
                                    

"Selamat pagi, Letnan" sapa Gyuri begitu melihat Joohyun memasuki kantor.

Joohyun tersenyum manis, "Selamat pagi juga, Gyuri. Apakah kau sendiri? Dimana Sersan Lee?"

"Nde, dia sedang membeli kopi di seberang jalan, mungkin sebentar lagi ia akan datang." jawab Gyuri yang masih berkutat dengan berkas. Joohyun hanya mengangguk kecil, lalu kembali mengerjakan tugasnya.

Namun tidak sampai lima menit, Joohyun menyadari ada yang aneh.

"Dimana Oh Il Seung?"

Gyuri mengkerutkan dahi, "Bukan kah dia bersama dengan anda, Letnan?"

Joohyun menggeleng, "Ia kemarin meminta untuk tetap tinggal di rumah sakit hingga petugas jaga datang, harusnya ia sudah kembali dari tadi malam."

"Mungkin dia masih berada di rumah sakit? Apa aku perlu menelpon petugas jaga?"

Joohyun mengangguk, "Tolong hubungi mereka."

Gyuri lalu segera berkutat dengan ponselnya, mencoba menghubungi petugas yang berjaga di rumah sakit. Sedangkan Joohyun, ia mencoba untuk menghubungi Il Seung secara langsung.

Entah kenapa, rasa curiganya terhadap Il Seung semakin bertambah. Harus ia akui, orang baru itu sedikit mencurigakan selama proses penyelidikan kemarin. Rasa curiganya itu bermula ketika secara mengejutkan, bawahannya itu berhasil mendapatkan koordinat lokasi tersangka.

Kemudian disaat ia menanyakan apakah ia bertemu dengan tersangka, dengan cepat Il Seung menyangkalnya padahal ia dapat dengan jelas melihat luka memar dan sobek di muka bawahannya itu. Yang jelas sekali menandakan bahwa ia telah terlibat dengan suatu perkelahian.

"Ck, dimana orang itu? Kenapa tidak diangkat?" Joohyun berdecak kesal karena panggilan teleponnya sama sekali tidak diangkat oleh Il Seung. Ia kemudian menoleh kearah Gyuri.

Gyuri menggeleng, "Mereka bilang, Sersan Oh sudah lama pulang. Dia tidak ada di rumah sakit."

Mendengar itu, Joohyun segera mengambil jaket dan kunci mobilnya. Ia akan mendatangi alamat rumah Sersan Oh saat ini juga.

Namun saat ia hendak membuka pintu kantor, secara bersamaan pintu juga terbuka dari luar. Joohyun tidak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya saat melihat Il Seung tepat berada dihadapannya.

.

.

.

"Darimana saja, kau?" tanya Joohyun saat mereka sedang didalam mobil, menuju rumah sakit.

"Umm.. dari rumah?" jawab Il Seung yang terasa sedikit ragu. Joohyun memicingkan matanya tak percaya, "Kau tidak yakin dengan jawabanmu sendiri?"

Il Seung menggeleng, "Tidak, bukan begitu maksud saya. Saya hanya sedikit ragu anda akan percaya dengan jawaban saya."

"Kenapa aku harus meragukan jawabanmu?"

"Umm.. saya tidak tahu, tapi wajah anda mengatakan hal itu." jawab Il Seung terus terang.

Joohyun sedikit terkejut, apakah raut wajahnya sangat terlihat jika ia sedang mencurigai Il Seung?

"Tidak, aku tidak meragukanmu. Wajahku memang selalu begini." ujar Joohyun mengelak.

Il Seung mengangguk paham, "Baiklah kalau begitu, maafkan saya telah berburuk sangka."

Lalu keheningan menyergap mereka. Tidak ada yang membuka percakapan sama sekali. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Keheningan itu terus berlangsung hingga netra Joohyun menangkap sesuatu.

"Gelangmu bagus, dimana kau membelinya?"

Il Seung yang sedang menyetir sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba dari atasannya itu.

"Ah, gelang ini? Ibuku yang membelikannya" jawab Il Seung masih sambil menyetir.

"Ibumu punya selera yang bagus, apa kau masih tinggal dengannya?"

"Umm.. tidak. Aku hanya tinggal berdua dengan adikku." jawab Il Seung yang sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan ini.

"Ah, begitu. Pasti kau merasa sedih saat pergi meninggalkan ibumu, ya?"

"Umm.. nde. Bisa dibilang begitu"

"Aku juga pernah merasakannya" ujar Joohyun tiba-tiba.

"Nde?"

"Rasa sedih itu, aku juga pernah merasakannya"

Il Seung tertegun sesaat, tidak tahu harus berbuat apa.

"Hanya saja, bukan aku yang pergi meninggalkannya, tetapi dia yang meninggalkanku."

"Ibu Anda?" tanya Il Seung, mencoba menunjukkan rasa simpati.

Joohyun menggeleng, "Bukan, bukan. Aku masih tinggal dengan ibuku. Yang kumaksud adalah ayahku dan juga..."

Il Seung menoleh, "Dan juga?"

"Ah, tidak apa. Lupakan saja, aku hanya berbicara sembarangan."

Letnan Bae lalu membuka pintu mobil dan keluar, mengingat mereka sudah sampai di rumah sakit sejak tadi.

Il Seung hanya dapat menatap punggung Joohyun dalam diam sebelum kemudian medesah pelan lalu bergerak keluar dan mengikuti atasannya itu.

.

.

.

"Oh Il Seung,"

Il Seung menoleh saat namanya dipanggil. Terlihat Joohyun yang sedang berjalan ke arahnya.

"Nde Letnan, ada apa?"

"Apa kau ingin kopi?"

Il Seung menggeleng, "Umm, saya rasa tidak. Saya sudah meminumnya pagi ini."

"Baiklah, kalo begitu aku akan membelinya sendiri."

"Ah tunggu Letnan, biar saya saja yang membelinya." Il Seung menahan tangan Joohyun yang hendak pergi.

Joohyun mengernyitkan keningnya, "Tidak usah, biar aku saja."

"Saya merasa tidak enak membiarkan Letnan membelinya sendiri, jadi Letnan berjaga disini saja, biar saya yang membelinya."

"Baiklah kalau begitu, aku akan berjaga disini."

Il Seung tersenyum senang, ia lalu melangkah pergi untuk membeli kopi.

Joohyun yang sadar jika ia belum memberitahu Il Seung kopi apa yang harus dibelinya pun berteriak, "Tolong belikan aku-"

"Americano, kan?" Il Seung balas berteriak dari jauh.

"Eh?"

.

.

.

Saat Il Seung sedang mengantri di kedai kopi, ponselnya bergetar, sebuah panggilan masuk. Ia langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Ada apa?" ucapnya dingin.

"Oh wow, santai saja, Kang. Kau sudah berubah banyak sekarang ya, nada bicaramu padaku saja sudah berubah,"

"ck. Katakan saja apa maumu,"

"Hmm, aku tidak ingin memberitahumu disini,"

"Kalo begitu kututup telponnya,"

"Hei hei, jangan begitu. Jangan tutup telpon ini."

"Kalau begitu katakan apa maumu,"

"Akan kukatakan jka kau mau betemu lagi denganku,"

"Kututup telponnya."

"Ini tentang Gook Cha Kyung."

MissingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang