Algofobia

61 8 0
                                    

Algofobia

Kalau saja bisa kuganti tahun baru
Aku tak ingin Januari menjadi awal tahun
Sebab, ledakan di langit itu memekikkan
Bunyi sunyi yang teramat nyaring

Kalau saja bisa kuganti tahun baru
Aku tak ingin Januari ada perayaaan
Sebab, ramai pusat kota itu memperjelas
Sepi yang teramat nyata

Kalau saja bisa kuganti tahun baru
Aku tak ini Januari ada pesta meriah
Sebab, perayaan berganti tahun itu menyuarakan ketiadaan yang teramat lama

Kalau saja bisa, takkan kutulis puisi ini.
Sebab, Januari kala itu adalah awal tahun
Bagi puisi yang lahir dari rasa sakit.

Tertanda,
-syawal.

Puisi tersebut ku-unggah di instagram.

Algofobia.

menurut KBBI Algofobia adalah fobia terhadap rasa sakit baik merasakan, menyebabkan, atau melihat seseorang merasa sakit.

Januari, keterangan bulan yang aku sisipkan pada puisi tersebut adalah isyarat atas judul puisi yang aku berikan.

Januari (kala itu) memang bukan Januari yang aku inginkan. Selepas suatu hari dimana tombak tajam menghunus tepat di ulu hati. Dimana pura-pura baik-baik saja harus kuperlihatkan agar terlihat kuat di matamu. Ku kira singgahnya ia sungguh, tapi yang singgah memang tak pernah sungguh.

Aku benci mengakui patah hati pertama kali.

Tapi kali ini bukan untuk menceritakannya, tulisanku sebelum-sebelumnya sudah terlalu banyak tentangnya. Aku hanya ingin menjelaskan tentang puisi tersebut.

Aku lahir pada Januari di pertengahan lebih dua hari, kala itu Januari bertepatan dengan bulan Syawal. Musabab, diberilah aku nama Syawal.

Saat puisi itu kutulis, umurku sudah melewati syarat umur wajib membuat KTP. Tepat di Januari, saat ledakan kembang api terlihat menarik, saat perayaan berganti tahun terlihat menyenangkan, saat orang-orang ramai memenuhi jalan.

Tidak, waktu itu tidak sedang merasakan perasaan yang sering disebut "galau". Emangnya kalau nulis perasaan berarti sang penulis itu sedang galau? Tidak juga. Kita tak pernah bisa menebak perasaan si penulis. Penulis itu manusia paling pandai mengelabui. Misalnya aku menulis puisi untuk seorang perempuan bernama Kirana, lalu orang-orang membacanya dan menyimpulkan bahwa Kirana adalah kekasih atau masa laluku. Padahal bukan siapa-siapa, hanya sosok imajinasi di kepala si penulis.

Puisi itu karya sastra yang penuh teka-teki. Tapi untuk mengetahui untuk siapa dan tentang apa suatu puisi? Kau bisa melihat isyarat yang terdapat didalamnya. Seperti keterangan tempat, waktu, diksi, kalimat yang mengarahkan pada sesuatu dan lain-lain.

Seperti yang kutulis sebelumnya, Januari adalah isyarat akan judul puisi yang aku berikan.

Januari kala itu adalah awal lahirnya puisi-puisi yang kebanyakan isinya adalah tentang sosok aku, kau, dan kenangan. Dan salah satunya adalah Algofobia. Sebuah puisi tentang sosok aku dalam kurun waktu dimulai dari Januari sampai bertemu Januari kembali. Ya, setahun. Selepas patah hati pertama kali pada suatu ketika.

Algofobia menjadi prakata bagi keadaan yang aku alami selepas patah hati pertama kali. Sejak saat itu membuka hati kembali teramat sulit. Bukan tak ingin, hanya saja belum siap untuk patah kembali.

Memang judul puisi tersebut terkesan berlebihan. Tapi, kupikir mungkin setiap hati yang pernah patah akan mengalami satu titik dirinya berada dalam zona takut patah lagi atau takut menyakiti lagi. Terutama pada hati yang baru patah.

Kau pasti tahu sulitnya kembali normal tanpa ada seseorang yang memenuhi hari-harimu. Kau pasti tahu rasanya takut memulai cerita baru lagi. Kau pasti tahu rasanya menyesal ketika mengabaikan seseorang yang sungguh-sungguh denganmu.

Puisi Algofobia mewakili ketakutan-ketakutan akan pertemuan tuan dan puan yang mempunyai masa lalu juga hati yang sama-sama patah atau hanya ada satu hati yang pernah patah.

Puisi Algofobia memang awal lahirnya puisi-puisi tentang sosok aku, kau dan kenangan. Tapi, puisi Algofobia juga keterangan atas berakhirnya sosok aku dan kau.

Terlepas dari puisi Algofobia, kita semua punya masa lalu, entah tentang percintaan, persahabatan, pertemanan, keluarga atau tentang apapun.

Yang harus kita sadari adalah bahwa kita yang sekarang adalah tempaan masa lalu. Berdamai dengan masa lalu adalah cara terbaik untuk hidup yang lebih baik. Membiarkan masa lalu tetap hidup sebagai kenangan adalah cara bijak untuk tidak menghapus jejak.

Ayolah, mau sampai kapan kita membenci masa lalu dan rasa sakit?

Kau tahu? Pertanyaan itulah yang mendorongku untuk berdamai dengan masa lalu dan seluruh rasa sakit yang pernah ada.

Jadi, kapan bersulang kopi?
Nanti kita cerita, ya?
Kita nikmati luka bersama.

Bekasi, 27 Juli 2019
Tertanda
—Syawal.

***

Yeah nulis lagiii...

Makasih sudah membaca:)

Tulisan yang hampir hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang