Menuliskanmu

79 10 0
                                    

"Menuliskanmu adalah terapi
serta salah satu cara berdamai
dengan masa lalu—kisah kita"

(syawal)

***

Untukmu, senjani.

Sudah lebih dari 730 hari selepas aku dan kamu memintal jarak dengan benang-benang perpisahan. Selepas perpisahan itu pula puisi-puisi lahir dari perasaan yang butuh tempat berpulang.

Kini, bagaimana kabarmu?

Perpisahan membawa kita pada fase dimana dua manusia yang dulu saling, kini menjadi asing; yang dulu dekat, kini tercipta sekat.
Benar adanya bahwa jarak terjauh adalah berada dalam fase tersebut. Tidak menyenangkan memang, sulit untuk kembali normal pada keadaan yang biasa-biasa saja.

Jadi, bagaimana kabarmu?
Berhasilkah melupakan?

Senjani, untuk kesekian kalinya aku menulis untukmu. Sudah banyak puisi yang kutulis, beberapa ku-unggah di linimasa, beberapa lainnya tersimpan di catatan rahasiaku. Beberapa yang ku-unggah sebenarnya adalah bentuk perlawanan terhadap diriku sendiri yang kala itu cukup kalut. Luka perlu tempat, puisi kujadikan muaranya.

Aku bukan orang yang pandai berpindah, bahkan untuk memulai denganmu saja waktu itu cukup berat kulakukan. Sebab, segala kemungkinan patah selalu berlalu-lalang di kepalaku. Padahal sejak awal sudah kusadari bahwa jatuh dan patah adalah dua hal yang berkaitan, hanya saja dirasakan dalam waktu yang berbeda. Tapi keberanianku menang untuk menyatakan debar tak wajar di dadaku.

Senjani, apa hatimu sudah berpindah?

Suatu ketika rindu mendesak untuk melihatmu kembali di linimasa. Aku berkunjung ke akun media sosialmu. Disana hanya ada foto-fotomu, hatiku tidak mengelak bahwa kau tetap cantik. Tapi foto priofilmu membuat sesak begitu runcing menghunus tepat di dada. Foto seorang laki-laki kau jadikan sebagai foto profilmu. Otakku saat itu langsung menyuruh jari tangan untuk berselancar di akun media sosialmu, mencari tahu siapa laki-laki tersebut—dan—yaaa.. Pada akhirnya benar adanya. Hatimu telah berpindah.

Aku tahu, kau punya satu alasan kuat saat suatu ketika kau mulai membentangkan jarak tanpa bicara. Meski sempat tak terima, pada akhirnya kesadaran menyentilku tentang apapun yang dipaksakan tak akan pernah baik-baik saja. Dengan melawan egoku sendiri, kubiarkan kau pergi.

Lalu siapa yang kalah? Atau siapa yang menang?

Terkadang aku merasa bodoh ketika menganggap akulah korban dan kau pelaku.
Nyatanya kita adalah korban dan pelaku bagi kisah kita sendiri.

Kita adalah pelaku, sebab ketika suatu hubungan sudah tidak sehat, kita justru saling menyakitkan, bukan membaikkan.
Kita adalah korban, sebab ketika saling merasa dilukai, kita justru memaki-maki, bukan berdiskusi.

Pada akhirnya kita sama-sama kalah, tidak ada pemenang diantara kita. Kita kalah akan janji-janji yang manis di awal namun pahit di akhir. Kita kalah akan mimpi-mimpi seatap yang pada akhirnya berujung saling ratap. Kita kalah akan aku dan kamu yang kini tiada 'kita'.

Sudah lebih dari 730 hari, aku dan kamu sudah tumbuh dewasa, kurasa kita sudah cukup mengerti untuk berdamai dengan masa lalu. Lelah juga kan kalau mengingat-ingat luka? Semakin kesini aku merasa bahwa patah hati bukan untuk ditangisi, tapi dinikmati. Menulis adalah salah satu cara menikmati patah hati. Rasanya seperti terapi dan berdamai dengan seluruh kenangan.

Senjani, apa kau juga demikian? Berdamai dengan kisah kita?

Entah apapun pilihanmu, bagaimanapun sikapmu terhadap masa lalu, bagiku itu adalah kewenanganmu. Kau boleh melupakanku atau bahkan menganggapku tidak pernah ada dihidupmu. Tidak masalah, sebab apapun itu pasti tersimpan satu alasan kuat.

Senjani, jadi bagaimana kabarmu?

Kalau boleh mengutip kata-kata Wira Nagara : "Berbiasalah, berbahagialah"
maka itulah kata penutup bagi tulisan ini.

Kesekian kalinya menuliskanmu,
Tertanda,
—syawalsyhb

***

Senjani itu nama yang kuberikan padanya
Dia tidak tahu perihal nama Senjani
Aku menamakannya untuk diriku sendiri
Untuk berdamai dengan masa lalu.

Terima kasih sudah membaca,
Salam hangat,
—Syawal.

Tulisan yang hampir hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang