"Bandung bagiku romantis
Entah kota atau alamnya"***
Sewaktu liburan kerja hari raya Idul Fitri, masih di bulan Syawal, aku bersama temanku Fahmi-yang lebih suka dipanggil Katel mengatur rencana liburan ke Bandung.
Pada sabtu sore suatu hari selepas Katel pulang kerja sif malam, kami bergegas menuju Bandung. Jatah liburku memang panjang, 2 minggu. Sedangkan Katel tidak ada libur hari raya, dapat libur 2 hari saja baginya adalah sebuah keberuntungan. Itupun kalau dihitung-hitung ia hanya libur hitungan jam saja. Jum'at malam kerja, pulang sabtu pagi. Belum terpotong oleh waktu tidur di hari sabtu dan seninnya sudah harus masuk, beruntung seninnya Katel sif sore. Hebatnya, meski baru pulang kerja jam 11 siang dan tidur hanya beberapa jam saja, sore itu ia tetap memaksa berangkat. Berangkatlah kami ke Bandung.
Sampai pada waktu sebelum senja, Purwakarta menyambutku dengan rintik hujan. Kami buru-buru berteduh. Bandung masih cukup jauh dari tempat kami berteduh. Saat itu jalanan Purwakarta terlihat ramai, angkutan umum lalu lalang mengangkut penumpang, bising knalpot racing dari rombongan motor gede menggerung di sepanjang jalan. Purwakarta dihujani rintik kecil namun cukup deras, manis sekali.
Katel sedang sibuk dengan gawainya, sedang aku sibuk menghadirkanmu dalam khayalan. Aku membayangkan sosokmu berada di sampingku sedang cemberut sambil menggosokan tangan dan menangkupkannya ke pipi, udara cukup dingin di sini. Aku membayangkan sumpah serapah yang keluar dari mulutmu sewaktu rombongan motor gede berknalpot racing itu melintas. Gurat kesal di wajahmu pasti akan teramat lucu bagiku. Ah, bukankah orang-orang yang sedang kasmaran memang demikian? Terlihat marah bisa terlihat lucu, pun sebaliknya.
Katel menyadarkan lamunanku, hujan mulai mereda. Kami berdua melanjutkan perjalanan. Sampai waktu azan Isya tiba aku sudah sampai di Padalarang dan sama seperti di Purwakarta, kami berdua disambut dengan hujan yang deras, kali ini benar-benar deras.
Kami berteduh kembali, Katel mengeluarkan rokoknya, membakar dan mengisapnya untuk menghangatkan tubuh, sedang aku sibuk mengeluarkan kembali sosokmu dalam pikiran ke hadapanku. Padalarang lebih dingin dari Purwakarta. Padalarang gelap, hanya menyisakan lampu jalan yang remang serta lalu lalang satu dua kendaraan. Ah, andai perjalanan ini bersamamu, mungkin obrolan di antara kita saat hujan seperti ini terasa hangat sekali.
Cukup lama kami berdua tertahan di Padalarang. Hujannya awet, waktu terus bergerak menuju pukul 20:00 WIB. Setengah jam kami tertahan di Padalarang, padahal waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kota Bandung masih sekitar kurang lebih satu setengah jam. Ya, kota Bandung adalah tujuan utama kami.
Aku menghela nafas panjang, hujan masih saja awet, macam air yang terus bersikulasi. 1 jam 30 menit sudah kami tertahan dan akhirnya hujan pun mereda, rintik-rintik kecilnya masih setia jatuh dari langit.
Kami bergegas kembali menuju Bandung. Jalanan Padalarang sepi, satu dua kendaraan termasuk aku dan Katel yang hanya melintas. Kali ini aku yang mengendarai motor. Di tengah perjalanan, Katel tak kuasa menahan kantuk, beberapa kali kepalanya terhuyung ke kanan ke kiri sampai membuat motor sedikit kehilangan keseimbangan.
Ibu, andai saja saat itu yang mengantuk adalah dirinya, mungkin aku tak akan membiarkan kepalanya terhuyung, mana tega aku melihat kepala gadis itu terasa pening karena menahan kantuk. Ibu, pasti sudah kuizinkan ia merebah di pundakku, untuk beberapa saat saja, sampai aku menemukan tempat makan, warung tenda, atau Masjid untuk beristirahat.
Ibu, sayangnya bukan dirinya.
Aku menghela nafas, Katel terhuyung ke kanan, kali ini membuat motor hampir jatuh, ia benar-benar mengantuk. Tapi kami tidak bisa menunggu lama, Padalarang sangat sepi untuk berhenti sesaat, aku terus melajukan motor, Katel terus menahan kantuk dan lagi-lagi terhuyung ke kanan ke kiri, aku berusaha menyeimbangkan laju motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan yang hampir hilang.
AcakSekumpulan tulisan yang dimulai dari puisi-puisi, lalu berlanjut ke tulisan-tulisan panjang bergenre senandika. Tentang aku, kau, dan cerita-cerita yang lahir dari perjalanan.