Hujan Di Oktober

48 3 0
                                    


Sudah sekitar 15 menit aku meneduh di depan minimarket. Duduk disalah satu bangku yang disediakan. Hujan turun cukup deras saat aku dalam perjalanan pulang kerja. Terpaksa aku menepi di minimarket terdekat.

Angin malam berembus bersama dengan hujan yang terus mengguyur. Beruntung aku membeli kopi panas. Setidaknya cukup untuk menghangatkan tubuh. Masih butuh sekitar 45 menit lagi untuk sampai rumah. Baiklah mungkin sebentar lagi hujan segera reda.

Aku melirik jam tangan, sudah pukul 00.30 WIB. Waktu semakin larut. Hujan semakin deras. Hanya aku yang meneduh disini. Meski sudah larut malam, tapi karena minimarket ini berada di depan jalan raya, maka jalanan masih terlihat ramai. Motor dan mobil berlalu-lalang silih berganti.

Sudah bulan Oktober. Sudah mulai memasuki musim penghujan. Aku tersenyum kecil. Aku teringat sesuatu.

Aku selalu menantikan bulan Oktober datang. Selalu tidak sabaran ingin menyapanya lagi dan mengucapkan "selamat ulang tahun, ya". Ya walaupun tidak pernah menjadi orang pertama yang memberi ucapan. Tapi, aku selalu tidak sabaran menunggu hari itu.

Aku memang selalu menantikan Oktober datang karena alasan sederhana itu. Tapi, tidak untuk tahun ini. Aku tidak menantikan Oktober tahun ini. Sebab, kamu sudah tidak bisa lagi. Kamu sudah tidak bisa lagi aku ucapkan "selamat ulang tahun, ya".

Sudah tidak bisa lagi.

Kalau itu kulakukan, maka perjalanan panjang untuk berpindah darimu akan sia-sia dan gagal. Dan aku tidak mau gagal menyelesaikan misi yang kamu berikan. Misi melupakan. Ya, walaupun tidak mudah. Tapi gapapa. Ini pantas untukku.

Kau tahu? Tidak peduli denganmu itu sulit sekali. Aku masih sering melihatmu di media sosial, melihat sorotan ceritamu, atau bahkan membaca ulang riwayat obrolan kita.
Aku masih suka menulis puisi untukmu di catatan pribadiku. Yang dulu kamu sering memaksa untuk bisa membacanya, tapi hanya satu dua puisi yang aku perlihatkan. Maaf ya, aku pelit sekali.

Kau tahu? Sulit sekali berusaha tidak suka kamu. Apalagi disuruh berpindah. Tapi aku tahu misi darimu tidak boleh gagal. Karena kalau gagal, aku tidak tahu bagaimana cara menerima orang baru. Aku tidak tahu bagaimana cara membuka hati untuk orang selain kamu. Ya, karena direlung terdalam masih ada kamu. Pokoknya tidak boleh gagal, misi ini harus sukses.

Kau tahu? Dipenghujung September aku meneguhkan hati untuk tidak berharap apapun pada bulan Oktober. Untuk tidak menjadikan hari ulang tahunmu sebagai jembatan agar kita bisa dekat lagi. Maksudku dekat dalam artian aku mendekatimu lagi. Aku sudah meneguhkan hati untuk menekan tombol cancel untuk tidak kembali lagi dan menekan tombol start untuk memulai perjalanan panjang. Melupakanmu.

Maksudku, melenyapkan perasaan untukmu.

Benar katamu, sudah saatnya berpindah. Tidak boleh bertahan disatu hati yang sudah tidak bisa lagi bersama. Karena garis waktu terus melaju. Jika hanya diam dan seolah menjadi orang paling nelangsa itu hanya akan menghambatku, kan?

Kau tahu? Aku tidak tahu kapan harus berhenti menulis tentangmu.
Mungkin, kamu cerita yang tidak pernah usai walau segalanya sudah selesai. Aku tahu, aku lancang menulis ini. Aku tahu kalau saat ini kamu membacanya, ini sama saja seperti mengganggumu. Tapi, bagiku menulis adalah kejujuran. Aku tidak bisa memakai topeng palsu dalam tulisanku. Kalau itu kulakukan, apa artinya tulisan itu bagiku?

Tapi, kapanpun kamu memintaku untuk menghapusnya. Maka akan kuhapus seluruhnya yang telah terunggah di linimasa.

Kau tahu? Sudah banyak yang bertanya tentang siapa orang dibalik puisi Gadis Manis Penghuni Ruang. Aku tidak memberitahu siapapun. Mereka berusaha menebak-nebak. Bahkan ada yang merasa yakin sekali bahwa ia tahu orangnya siapa. Aku hanya menanggapinya dengan tertawa kecil dan mencoba mengalihkan pembicaraan agar kamu tetap tak diketahui.

Oktober kali ini aku sedang berada dalam fase melupakan. Doakan berhasil, ya. Oh, iya, pertemuan terakhir waktu itu, meski tidak berdua, tapi saat itu segala tanya yang memenuhi isi kepalaku sudah terjawab. Terima kasih, ya. Kalau bukan karena pertanyaanmu waktu itu, mungkin saat ini aku masih sering menebak-nebak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang masih rancu.

Kelak ketika kita bertemu lagi, aku akan menatapmu dengan perasaan yang sudah tidak ada lagi kamu didalamnya. Aku akan tersenyum tanpa ada lagi harapan dibaliknya. Dan aku akan tertawa lepas tanpa ada lagi rindu setelahnya.


—Syawal


***

:)





Tulisan yang hampir hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang