Jauh Dari Rumah

21 1 0
                                    

"Nak, janganlah seperti Bapak"

Anak itu pergi merantau membawa bekal perkataan Bapaknya. Jauh di kampung halamannya, Bapaknya tak henti-henti menyesal namun juga bangga. Menyesal membiarkan anaknya bertahan hidup sendirian di kota lain, pun juga bangga saat anaknya kembali tanpa kekurangan apapun. Bukan harta ataupun tahta, sungguh ada yang lebih bernilai daripada itu.

Tulisan ini untuk anak-anak rantau.

Kau tahu, kawan? Aku iri pada tekad dan keberanian kalian. Merantau ke luar kota, mungkin hanya membawa ransel yang berisikan pakaian dan beberapa yang penting saja, jauh dari rumah dan lingkungan yang kalian kenal. Mungkin beberapa ada kerabat atau saudara yang tinggal di tempat kalian merantau. Tapi kawan, jauh dari rumah itu bukan hal mudah. Jauh dari hal-hal yang sebelumnya ada disekelilingmu tentu sulit.

Sekitar 1 tahun lalu sewaktu aku masih bekerja di suatu perusahaan manufaktur, aku mengenal banyak teman dari luar kota Bekasi. Satu dua masih berasal dari Jawa Barat, sisanya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kau tahu? Menariknya perusahaan ini berada di Kawasan Cikarang, tapi karyawan didalamnya mayoritas adalah anak rantau. Lebih banyak berasal dari luar Jawa Barat. Sedikit sekali karyawan asli Kota Bekasi. Dibagianku saja, hanya ada 2 orang yang bukan anak rantau dari 40 orang karyawan. Aku menjadi asing sendiri di kota tempat aku tinggal selama beberapa minggu sejak aku bekerja di perusahaan itu. Wajar, adaptasi lingkungan baru.

Seiring hari berganti hari, minggu berganti bulan, aku semakin dekat dengan mereka para anak rantau. Suatu ketika pernah kutanya pada salah satu temanku yang berasal dari Yogyakarta. "Berat ga jadi anak rantau?". Pertanyaan lumrah yang sering ditanyakan banyak orang kutanyakan padanya.

"Berat, wal. Kamu pernah ndak ngerasain moment bangun subuh dan menyadari satu kenyataan yang setiap hari kamu temui yaitu tidak ada keluarga dekat disekitarmu. Kamu kangen, tapi kamu harus berjuang sendiri, jauh dari rumah". Seperti itu jawabannya jika aku sederhanakan. Aku hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya.

Pernah suatu waktu juga kutanyakan pertanyaan yang berbeda pada temanku yang berasal dari Wonogiri. "Gimana cara ngatur biaya hidup di kota orang" tanyaku yang saat itu berpikir bagaimana cara mereka bertahan hidup dengan gaji yang 'pas' untuk kebutuhanya dan kebutuhan keluarganya di kampung.

"Yang paling penting aku ngirim dulu untuk orang rumah di kampung, selebihnya disini biar jadi urusanku. Kadang, wal, ah bahkan seringkali setiap tanggal tua aku hanya makan sehari sekali untuk di indekos, satu kalinya lagi kan makan gratis di perusahaan. Jajan juga ditahan-tahan. Keinginan? Ah, itu lebih ditahan lagi" jawabnya. Tapi kau tahu? Menariknya, karena banyak juga teman seperantauan mereka disini. Maka ikatan kekeluargaan mereka atas nama perjuangan satu pulau juga kuat. Solidaritas mereka tinggi. jangan macam-macam menyikut satu orang, yang lainnya akan ikut mengaum.

Dan yang paling menarik dari anak rantau adalah nasihat lama atau pesan dari bapak yang sudah sangat lumrah sekali diucapkan. "Nak, Janganlah seperti Bapak". Pesan sederhana yang didalamnya ada harapan dan impian sang Bapak untuk anaknya. Bahkan pesan itu juga disampaikan lewat lagu karya Iksan Skuter, judulnya pun sama seperti pesan di atas. Pun Ayahku sendiri berpesan seperti itu.

Ayahku adalah perantau dari pulau Sumatera. Tepatnya dari Medan. Aku senang ketika mendengar ceritanya semasa merantau dulu. Ah, bahkan ingin kutuliskan ceritanya menjadi sebuah novel sendiri. doakan ya, semoga bisa.

Menjadi anak rantau memang sulit. Tapi disitulah letak serunya. Hidup dengan menanggung harapan keluarga dan tantangan di luar kota serta seluruh masalah yang hadir. Pantas saja mental mereka sangat kuat. Mereka ditempa dan dibentuk dengan keadaan seperti itu.

Panjang umur para perantau yang berjuang dengan niat baik. Sehat selalu kawan-kawan. Kalian bertahan dan kalian menjadi kuat. Kelak, kisah kalian akan dikenang dan dibanggakan oleh masing-masing dari kalian serta anak keturunan kalian. Terima kasih untuk kawan-kawanku di tempat kerja lama. Aku banyak mengambil pelajaran hidup. Hei, tentu jangan lupakan mereka yang merantau untuk kuliah, kalianpun sama hebatnya. Salut.

Tapi ketahuilah kawan, bahwa sungguh orang tua yang menunggumu di kampung halaman tidak selalu mengharapkan apa yang kau bawa, sebab ada yang lebih berharga daripada itu. yaitu kepulanganmu dengan utuh.


Sampai jumpa di episode selanjutnya.

-syawal

Tulisan yang hampir hilang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang