WQ-35

24K 1K 16
                                        

maaf untuk yang nungguin cerita ini karena updatenya lama dan kemungkinan kedepannya juga upnya bakalan lama juga, aku tuh lagi ngejar target buat bisa wisuda tahun ini doain ya. ini ceritanya bentar lagi kelar kok.

ini sebenarnya cerita iseng aku, makannya gak ada kasus berat. aku pikir aku bisa buat cerita pendek, eh ternyata aku tidak bisa Ani. cerita dasarnya itu sebenarnya dari si Asley sama Almeera, tapi belum mateng konsepnya jadi aku up yang ini dulu. aku menyangka tidak ada yang mau membaca, ternyata ada juga yang nungguin.

Terima kasih buat kalian yang udah mau baca cerita ini terutama bagi yang sudah mau menyumbangkan vote dan komen, aku terharu kirain gak ada yang mau baca, ternyata ada seneng banget aku tuh........

see you gaes, berbarengan dengan dua part terakhir aku bakal up sama cerita Asley juga...

with lope lope

____________

Adrey tersadar dari lamunannya ketika ponselnya kembali berdering dari orang yang sama. Berdecak kesal ia mengangkat panggilan itu.

"ada apa?" degusnya kesal.

"santai dude" suara kekehan di seberang sana.

Kemudian Adrey kembali berkata tanpa mengubah intonasinya "aku sedang tidak ingin di ganggu dengan hal-hal menyangkut pekerjaan"

"memang siapa yang akan membutuhkan mu di sini. Kami bisa bekerja tanpa diri mu"

"hey, jika ku tutup firma hukum itu, kalian tidak akan bisa bekerja lagi"

"kami bisa mencari firma hukum lainnya" sergah wanita itu santai, sebelum Adrey kembali mendebatnya ia langsung memotong "aku punya satu tiket lounching buku terbaru QueenGeek, acaranya besok pagi. Aku mendapatkannya dari adikku karena tidak bisa pergi jadi dia memberikannya untuk ku. Tiga puluh menit lagi kau tidak sampai maka tiket lenyap. Aku masih harus meeting dengan seorang klien karena bos ku melarikan diri dari pekerjaan."

"aku tidak melarikan diri, kau piker kau siapa memberi ku tengat waktu?"

"terserah jika tidak mau, bay"

Panggilan itu langsung terputus. Adrey menggumpat kesal, sekretarisnya satu itu memang perlu di tatar ulang. Tidak menunggu lama, karena biasanya ancaman wanita gila itu tidak pernah main-main, ia menghubungi ponsel Natha dan masi tidak bisa di hubungi lalu ia hanya mengirimkan sebuah pesan dan pergi meninggalkan ruangnnya dengan tergesa.

***

Natha berjalan menyusuri jalan setapak dengan batu krikil yang tersusun dengan indah di setiap pijakannya, kanan dan kirinya hutan dengan bunga-bunga yang tengah bermekaran, karena hari sudah gelap lampu-lampu taman berpijar menerangi langkahnya menuju sebuah rumah minimalis yang di lindungi pepohanan dan bunga-bunga manis di sekelilingnya, tidak jauh dari samping rumah itu ada bangku taman memanjang untuk bersantai.

Seharusnya raut wajahnya bahagia tidak lesu seperti itu. Angin malam yang berhembus dingin membuat Natha memasukkan tangannya lebih dalam lagi kedalam sweternya. Tadi sore ketika ia sampai di sini dan bergabung dengan tim yang di utus dari penerbitan dan beberapa orang penting lainnya ia bisa menghilangkan sejenak rasa dingin di hatinya, namun sekarang hawa dingin yang menemaninya membuat air hangat di matanya menetes di kepipinya.

Natha mempercepat langkahnya tanpa menghiraukan air mata yang terus turun, salahnya juga menolak usul Jenny yang ingin menemani dirinya, ia hanya ingin tenang, namun bukannya tenang ia malah semakin kacau sekarang, mungkin besok ia akan lebih baik ketika bertemu dengan orang-orang.

Setelah masuk kedalam rumah minimalis itu, Natha langsung duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya. Ia tidak boleh mengecewakan para pembacanya besok. salah seorang dari mereka mengusulkan untuk membuat lounching bukunya kali ini di sebuah resort sekalian berlibur dan banyak dari mereka yang mendukung dan penerbit juga menyanggupinya dengan berbagai pertimbangan sebelumnya, sekalian mereka juga membuat acara untuk para staf di kantor setelahnya.

Tangan Natha meraih remot TV dan menghidupkannya, bersamaan dengan suara seseorang yang berbicara di TV perut Natha ikut berbunyi nyaring membuat ia meringis. Dan meninggalkan TV begitu saja.

Natha mencari-cari makanan di kulkas tidak ada yang ingin ia makan dan menutupnya kembali, ia membuka lemari cabinet dan menemukan berbagai jenis cemilan di sana, matanya menangkap sesuatu yang ingin dia makan tapi bukan merek itu yang ia inginkan, dengan kesal ia mengacak-acak lemari cabinet itu mencari-cari Chitato namun tetap tidak ada hanya ada layse di sana.

Natha akan menelpon seseorang untuk membawakannya Chitato namun urung karena tidak ingin menghidupkan ponselnya. Biar saja Adrey mencarinya sungutnya dengan kesal dan membuka bungkus Layse dengan mulut penuh dengan keripik kentang ia berjalan kembali ke depan TV. Oh ternyata di sana ada telepon.

Air mata Natha kembali jatuh setelah menghubungi seseorang, tangannya kembali meraih kripik bundar itu dan memasukkannya ke mulut. ia benar-benar menginginkan chitato, ratapnya dalam hati sambil terisak-isak dan membiarkan air matanya mengalir hingga jatuh kebajunya tanpa ada keinginan untuk menghapusnya dengan tisu yang tersedia di atas meja kaca di hadapannya.

Chitato mengingatkannya kepada pria yang berjalan tergesa dengan stelan formal yang rapi menenteng sebuah plastic di tangan kanannya dan berhenti tepat di hadapannya, ia kira pria itu tau apa yang di recanakannya dengan berdiri di sana – merencanakan menyusup ke lapas lebih tepatnya, Namun pria itu malah menyerahkannya bungkusan plastic yang di genggamnya kepada Natha sambil tersenyum lembut dan menepuk kepala Natha pelan.

"untuk mu" ucap pria itu dan berlari masuk kedalam ruang sidang. Beruntung hari itu Natha menggunakan masker penutup mulut hingga tidak terlihat jika mulutnya ternganga tidak percaya.

Senyum di bibir Natha mengembang jantungnya belum berhenti berdebar ketika membuka plastic itu dan isinya ada berbagai macam cemilan. Natha menatap pintu ruang sidang yang tertutup, pria itu sudah masuk, pria tampan dengan senyum lembut yang menawan, namanya William A. Walter itu yang sempat Natha perhatikan dari id card yang di gunakan pria itu.

Akhirnya Natha mengalah dan meraih tisu di atas meja, kali ini bukan hanya matanya yang mengeluarkan air, hidungnya juga ikut mengeluarkan air.

Suara bell membuat Natha kesal. Ia tidak menginginkan chitato lagi, sekarang ia ingin pria itu.

"masuk" suara Natha menggelegar.

Di depan pintu Jenny mengernyit heran, ia tidak terbiasa dengan jeritan Natha, ia terbiasa dengan sikap dewasa Natha, biasanya walaupun pintu tidak di kunci Natha akan membukakan pintu untuk siapa saja yang ada di luar sana meskipun itu dirinya, karena yang baru saja di lakukan Natha adalah sifatnya sendiri, hingga terkadang Natha mengomelinya.

"ada apa dengan mu?" Jenny langsung berjengit ketika melihat Natha duduk dengan wajah memerah dan air mata yang mengalir dan sisa-sisa cairan yang baru saja di hapus di bawah hidungnya.

Jenny meringis menyerahkan pesanan Natha, pasti sesuatu telah merubah Natha, Natha tidak pernah menangis semenyedihkan ini, jikapun ia menangis, ia adalah wanita yang paling manis ketika mengis yang pernah di jumpai Jenny.

Natha menarik berkali-kali tisu untuk membersihkan wajahnya setelah itu ia kembali meraih makanan yang di bawa Jenny dan memakannya, tanpa ada kata apapun lagi keluar dari mulutnya, ia menyandarkan kepala di bahu Jenny dan tertidur.

William's Queen (end)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang