🌜39🌛

12.7K 732 119
                                    

Dua hari sudah Azzam di RS selama itu pula kedua orangtuanya tak saling bertegur sapa.

Hari ini Azzam diizinkan pulang ke rumah lukanya sudah sedikit membaik dan tidak ada lagi perdarahan. Setelah beres dengan urusan Administrasi dll. Azzam baru benar benar diizinkan pulang. Arvan hanya bisa mengantar hingga ke Rumah tak bisa menemani Azzam di Rumah ia masih terikat dengan jam kerjanya di RS.

Tak ada cium tangan tak ada cium kening bahkan tak ada kata berpamitan saat Arvan harus kembali lagi ke RS. Entah karena Arvan terlalu marah, kecewa atau apalah yang jelas Arvan lain saat ini. Tapi diam diam Arvan meminta bantuan pada ibu dan bunda untuk menemani Zia di rumah untuk sementara waktu ini.

Beberapa hari setelah kecelakaan Azzam. Arvan dan Zia benar benar beda. Zia mengakui kesalahannya dan kelalaiannya ia beberpa kali berusaha meminta maaf pada Arvan tapi tak pernah disambut baik oleh Arvan. Saat dirumah Arvan hanya akan fokus pada Azzam.

Seperti pagi ini saat hendak shalat subuh.

"Abang tunggu aku ambil wudhu dulu." kata Zia saat melihat Arvan hendak shalat. Zia mencoba menahan egonya untuk memulai memperbaiki komunikasinya dengan Arvan. Mendengar perkataan Zia bukannya berhenti Arvan malah langsung memulai shalatnya.

Zia hanya bisa menarik nafas dalam dan mengelus dada. Air matanya tak terasa menetes bagaimana tidak beberapa hari ini perlakuan Arvan benar benar menghukumnya. Arvan tak menerima semua bakti yang dilakukan Zia. Bahkan mengimami shalat pun tak Arvan lakukan.

"Titip Azzam bang aku mau ke dapur." kata Zia setelah selesai shalat. Kembali tak ada jawaban dari arvan.

Selesai menyiapkan sarapan Zia kembali ke kamar. Saat Zia kembali ke kamar Arvan langsung masuk ke kamar mandi. Selama Arvan mandi Zia menyiapkan pakaian Arvan walau hampir satu minggu ini semua baktinya tak pernah diterima oleh Arvan namun Zia tetap mencoba.

Zia melihat Arvan keluar dari kamar mandi.

"Pakaian abang udah aku siapkan." kata Zia. Arvan hanya melirik pakaian yang sudah Zia siapkan. Lalu ia memilih membuka lemari dan mencari baju untuk ia kenakan.

Sakit benar yang Zia rasakan sekuat apapun Zia adalah wanita yang lebih mengedepankan perasaan. Tak kuat lagi melihat suaminya dan menyerah dengan segala usahanya Zia pun memilih untuk keluar dari kamar.

Zia terus menahan agar tak menangis setetes air matanya jatuh langsung ia seka. Zia pergi ke meja makan ia membereskan semua makanan yang sudah ia siapkan kedalam rantang. Lalu ia pergi ke luar dan memberikan rantang tersebut pada petugak kebersihan yang biasa menyapu jalan di sekitar kompleknya.

Diam diam Arvan memperhatikan gerak gerik Zia. Sambil menggendong Azzam ia melihat Zia yang memberikan rantang kepada ibu petugas kebersihan.

Saat Zia hendak masuk kedalam rumah Arvan kembali ke kamar dan seolah olah tidak tau apa apa.

Pukul 06.30 Saat akan berangkat Arvan sedikit menengok kearah meja makan. Zia yang berada di belakan Arvan menyadari itu.

"Aku buat sarapan. Tapi aku rasa akan mubadzir seperti beberapa hari ini. Jadi daripada mubadzir lagi lebih baik aku bagi buat orang yang lebih bisa menghargai makanan kan." kata Zia dengan santai padahal hatinya tak sesantai itu.

"Abang hati hati. Aku minta maaf." kata Zia sambil mengulurkan tangannya. Arvan tak menanggapi uluran tangan Zia.

"Ayah berangkat ya nak. Baik baik di rumah ya." kata Arvan pada Azzam.

"Tolong Izinkan aku untuk berpamitan dengan abang kali ini." kata Zia sambil kembali mengulurkan tangannya.

Walaupun Arvan merasa aneh denngan apa yang Zia katakan tapi ia tak ambil pusing. Ia turuti kemauan Zia, Zia mencium tangan Arvan.

"Semoga bukan yang terakhir." kata Zia pelan sambil melihat Arvan yang memasuki mobilnya.

Setelah memastikan Arvan benar benar sudah berangkat Zia langsung pergi ke kamar.

"Maafin bunda ya nak." kata Zia sambil mencium Azzam.

Sambil menggendong Azzam Zia menurunkan koper dari atas lemarinya. Zia mulai mengemasi barang barangnya. Keputusannya sudah bulat Zia pikir dirinya butuh waktu untuk sendiri menetralkan pikirannya menetralkan hatinya yang sakit dengan hukuman Arvan dan Zia pikir Arvan juga tak akan terlalu susah tanpa dirinya karena seminggu ini pun Arvan bisa mengurus dirinya sendiri. Selesai mengemasi barang barangnya dan Azzam. Zia langsung memandikan Azzam. Setelah selesai dengan segala kegiatannya di rumah itu Zia keluar kamar sambil menggeret kopernya.

Saat sampai di depan pintu utama bertepatan dengan ketukan di pintu.

Tok tok tok...

"Assalamualaikum." panggil seseorang.

"Waalaikumsalam." Jawab Zia sambil membuka pintu.

"Eh ibu masuk bu." kata Zia pada orang tersebut yang ternyata ibu mertuanya.

"Zi, kamu mau kemana?" kata Ibu saat melihat ada koper besar di dekat Zia.

"Eh enggak bu. Aku itu anu.. Emm lagi beres beres aja. Iya gitu." kata Zia tampak gugup.

"Jangan bohong sama ibu nak ada apa?" tanya ibu.

Tak kuat akhirnya air mata Zia pun luruh.

"Jujur sama ibu nak ada apa? Sini cerita." kata ibu sambil menarik Zia dan merek duduk di ruang tamu.

"Maafin aku ibu." kata Zia.

"Untuk apa?"

"Apapun kesalahan yang pernah aku lakukan." kata Zia dalam tangisnya.

"Kamu istigfar na jelasin baik baik sama ibu ada apa?" kata Ibu

Zia menarik nafas dalam dan beristigfar.

"Bu, setelah kejadian kecelakaannya Azzam seminggu yang lalu. Hubungan aku dan abang gak baik baik aja bu. Aku sudah berkali kalia mengakui kesalahan aku dan berkali kali minta maaf sama abang. Tapi kayaknya abang sangat marah dan kecewa sama aku. Abang diamkan aku bu, semua bakti yang biasa aku lakukan tak di terima aku siapkan baju tak abang pakai, aku siapkan sarapan tak pernah abang makan tapi satu yang sangat menyakitkan buat aku ibu. Saat abang tak mau lagi mengimami aku shalat, cium tangan pun abang tak mau. Aku ini wanita ibu selayaknya wanita biasa yang perasa. Aku merasa sudah tak dibutuhkan lagi sebagai istri. Aku..."

"Cukup sayang. Ibu minta tolong maafin Arvan ya. Nanti ibu coba bicara sama Arvan. Kalian bisa coba bicarakan baik baik nak jangan begini."

"Enggak ibu bukan salah abang semuanya berawal dari kesalahan aku. Aku sudah mencoba untuk bicara dengan abang tapi tak pernah ada respon baik dari abang. Aku pikir aku butuh waktu untuk sendiri dulu bu. Aku takut jika aku terus disini dengan kondisi aku dan abang yang sama sama tidak baik akan menghasilkan sesuatu yang tak baik juga. Izinkan aku pergi ibu."

"Enggak nak. Kalian jangan begini. Kalian bukan lagi dua orang. Seenggaknya liat Azzam dia butuh kalian. Dia bukan hanya butuh kamu dia bukan hanya butuh Arvan. Dia butuh orang tuanya."

***
Assalamualaikum...

Nah tuh ada yang mau pergi kemana tuh. Drama ya part ini maafkan yaa tapi emang butuh yang tegang tegang sih biar gak plate gitu 😁

Jangan salahin Arvan ya Arvan lagi PMS jadi sampe begitu marahnya 🤣

Jangan salahin Zia juga ya. Zia wanita loh yang apa apa mainnya hati kurang kuat apa coba seminggu didiemin shalat aja sendiri berasa jomblokan. 😂

Kalian team pembela siapa nih? Arvan atau Zia? 🤔

Yaudah ya. Kritik sarannya aku tunggu yaa 😊

Vote dan komen juga jangan lupa 😁

Makasih semuanya 😘

Love,
#JariJariAmatir💚💚💚

Perjalanan Hidup (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang