🌜49🌛

15.5K 765 48
                                    

Zia berfikir sejenak lalu ikut bangun dari duduknya dan menghampiri Arvan.

"Katanya abang mau berubah untuk lebih baik tapi kenapa dalam hal yang satu ini enggak?" kata Zia.

Arvan menghentikan langkahnya lalu menatap Zia seolah bertanya meminta penjelasan.

"Abang itu gak mau dengerin penjelasan orang. Buktinya sekarang belum aku kasih penjelasan apapun abang udah pergi gitu aja."

"Tadi abang udah nunggu tapi gak ada jawaban juga." kata Arvan.

"Yaudah oke sekarang adek mau jawab apa?"

"Gak ada aku udah gak mood." kata Zia berjalan mendahului Arvan.

"Tunggu. Abang gak mau pulang sebelum semuanya selesai." kata Arvan sambil menahan tangan Zia.

"Yaudah selesai." jawab Zia asal.

"Gimana maksudnya?"

"Abang maunya gimana?"

Arvan menarik Zia untuk kembali duduk.

"Abang maunya kita udahan..."

"Oh begitu. Oke kalau itu mau abang." kata Zia dengan suara yang bergetar. Tak menyangka Zia dengan apa yang diucapkan  Arvan, ternyata Arvan memilih menyerah padahal sebenarnya Zia ingin mengakhiri perang dinginnya dengan Arvan tapi Arvan malah memilih jalan lain. Begitu yang ada dalam pikiran Zia. Zia berdiri lagi dari duduknya air matanya menetes begitu saja sulit untuk ditahan lagi. Arvan kembali menahan tangan Zia.

"Mau kemana? Abang belum selesai bicara."

"Buat apa udah jelas. Biar aku pulang beresin barang barang yang ada di rumah aba... Mppphhh." belum selesai bicara mulut Zia sudah di bungkam oleh Arvan tanpa izin. Alhasil Zia meronta dengan memukuli dada Arvan. Tapi sayang tangan Arvan yang sudah mendekapnya lebih kuat dari tenaga Zia.

Setelah Zia mulai melemah tidak meronta lagi Arvan mengendorkan dekapannya dan juga menjauhkan wajahnya dari wajah Zia. Tangannya ia gunakan untuk menangkup wajah Zia dan menyeka air mata Zia yang sudah banyak menetes.

"Denger abang dulu mangkanya. Ini air mata siapa yang izinin keluar?" kata Arvan santai sambil lagi menyeka air mata Zia.

"Abang mau kita udahan marahannya. Udahan diem diemannya udahan saling salah salahannya. Kita sama sama introspeksi diri terutama abang. Abang butuh adek buat selalu ingetin abang buat selalu dukung abang buat selalu nemenin langkah abang. Mau ya kita perbaiki semuanya sama sama?" kata Arvan sambil menangkup wajah Zia. Air mata Zia masih saja terus mengalir. Jujur sejujur jujurnya dari dalam hati Zia sudah memaafkan Arvan Zia juga percaya pada Arvan. Ada ketakutan tersendiri bagi Zia saat Arvan mengatakan udahan. Sejujurnya Zia takut Arvan lelah Zia takut Arvan menyerah.

Mengesampingkan segala ego dan gengsinya Zia memeluk Arvan dan menangis dalam pelukan Arvan.

"Jahat abang jahat." kata Zia sambil memukul punggung Arvan dengan tangannya sambil tetap menangis.

Arvan membalas pelukan Zia dan mengeratkan pelukannya.

"Salah lagi ya abang? Hmm"

"Jahat abang jahat. Kenapa bilangnya begitu?" kata Zia masih sambil menangis dan memukuli Arvan.

"Kan abang belum selesai kenapa dipotong coba." kata Arvan sambil mengelus punggung Zia sambil mengecupi kepala Zia.

"Maafin abang ya. Bantu abang biar bisa menjadi lebih baik. Bantu abang biar gak mengulangi lagi kesalahan kesalahan abang."

Zia melonggarkan pelukannya lalu mendongakan kepalanya menatap Arvan.

"Maafin aku juga." kata Zia sambil menatap Arvan.

Perjalanan Hidup (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang