Pagi sekali Aletha telah siap dengan seragam putih abu yang membalut tubuhnya. Ransel yang memeluk punggungnya, serta benda pipih yang digenggamnya. Hanya saja kali ini yang berbeda darinya adalah wajahnya terlihat muram, matanya yang menyipit seperti hendak hilang, bibir tipisnya yang hanya memperlihatkan garis tak menyungging ke atas seperti biasanya.
Ia menaikki motor kesayangannya itu, kini tak ada lagi seseorang yang biasa menunggunya di depan rumahnya. Ya, lelaki itu masih saja terbaring lemah tak sadarkan diri sampai saat ini, padahal ini adalah hari ke-empat nya, jelas sudah lebih dua hari dari perkiraan dokter bahwa lelaki itu akan sadar.
Perasaan berkecamuk dalam dirinya, perasaan bersalah serta kekhawatiran yang semakin mendominasi isi pikirannya, ia takut, ia gelisah jika saja sampai terjadi hal yang tak diinginkannya. Perlakuannya yang berlebihan, kecewa pada saat itu seharusnya bisa ia redam sehingga mungkin hal seperti ini tak akan terjadi pada lelaki itu. Ia menyesal, seharusnya ia tak membuat ambang kehilangan lelaki itu untuk kedua kalinya. Aletha tak ingin dia hilang.
Udara dingin menusuk kulit hingga terasa pada tulangnya, padahal ia mengendarai motornya pelan, sesekali melihat awan yang mendung. Hari memang masih sangat pagi, ia memutuskan untuk mendatangi terlebih dulu tempat yang dirindukannya. Tidak, bukan tempat itu yang dia rindukan, tapi seseorang yang bersamanya kala itu, disini.
Aletha tersenyum miris melihat ratusan bunga matahari itu yang tetap pada porosnya. Berfilosofi menghadap dan mengikuti cahaya matahari, ia setia pada apa yang memberinya bahagia.
Alasan itulah yang membuat Aletha ingin seperti bunga itu, ia kuat pada setiap kemungkinan cahaya yang meredup, namun ia tetap bertahan.
Aletha melirik arloji yang melilit lengan kirinya, tak terasa jarumnya telah menunjuk angka 7, tepat sedetik kemudian bel masuk sekolahnya akan berbunyi. Ia berpikir untuk tetap ada di tempat itu hari ini, karena jika memaksakan pergi ke sekolah pun ia akan telat, dan untuk memulai belajar pun rasanya kali ini ia tak akan bisa fokus.
Gadis itu berjalan mengitari bunga yang identik dengan warna kuning itu, tangannya menjelajah setiap kelopak bunga yang dilewatinya. Kakinya berjalan menuju rumah kayu di atas pohon yang kali itu ia pergi ke atas sana dengan Adrian. Ia rindu. Menaikki satu per satu anak tangga kembali mengingatkan obrolan ringan dirinya dengan Adrian pada saat itu.
Aletha terduduk di tepi rumah kayu itu, menghadap matahari yang semakin naik serta cahayanya yang semakin menghangatkan.
***
Di kelas 11-Ipa 1, beberapa kali Reyna mendongkak ke arah jendela menuju keluar mencari gadis yang setengah jam telah berlalu namun dia masih belum terlihat batang hidungnya sekalipun. Ya, ia mencari Aletha, tak biasanya sahabatnya itu telat masuk ke kelas. Apa ia tidak akan masuk? Batinnya bertanya, namun semalam saat ia mengirim pesan pada Aletha, gadis itu mengatakan akan pergi sekolah. Namun kenapa belum hadir juga. Buat khawatir saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend is Bad Boy
Teen Fiction-[ZONA BAPER] Entah apa yang mereka lihat darinya. Dari lelaki berpenampilan urakan dengan kelakuan yang super absurd itu. Dia yang selalu ingin mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Dan benar saja dia memang selalu mendapatkan apa yang menjadi ing...