Laki-laki itu berdiri pada sebuah tempat sunyi bernuansa putih, ia sendiri, mencari jalan keluar dan mencoba menemukan kehidupan orang-orang. Rasa sesak sesekali dirasanya, matanya sering kali meremang, namun setitik cahaya meneguhkannya untuk tetap membuka matanya.
Matanya mengadah, melihat setiap sudut tempat tersebut yang tak berujung. Manik matanya menyorot pada cahaya itu, ia berjalan perlahan sebelum akhirnya menemukan sosok yang dirinduinya, seorang wanita paruh baya yang tersenyum ke arahnya dengan lengan yang siap menyambut lelaki itu kapan saja. Senyumnya tulus, seperti senyum-senyum biasanya yang telah lama sekali tak didapati lelaki itu.
"Bunda!" Teriak Adrian dengan binar mata indahnya, ia tersenyum, kakinya perlahan mulai melangkah ke arah sosok yang dirinduinya itu. Perlahan nan pasti, langkahnya akan segera sampai. Namun kemudian teriakan orang-orang dari arah lain menghentikannya, membuatnya membalikkan tubuhnya.
"Adrian, papah disini! Sini nak," ucap lelaki paruh baya yang terlihat lemah.
"Pah..." gumamnya. Kakinya melangkah mendekat. Lalu kembali berhenti saat manik matanya menemukan sosok yang merusak hubungan keluarganya tepat di belakang ayahnya.
Kini teriakan orang-orang terdekatnya, Luna, Alvaro, Revan, Bella, Vanka, Bi Minah, hanya ia dengar dan dibalasnya dengan senyuman, lalu ia kembali melangkah ke arah cahaya itu, ke arah seorang ibu yang dirindukannya. Langkahnya hampir sampai, tangannya mencoba menggapai tangan yang akan menyambutnya dengan kasih lembut dan cintanya.
"Ian..." Suara lirih dari sudut lain kemudian menusuk ke dalam gendang telinga Adrian. Suaranya parau, seperti hendak menangis kapan saja, membuat Adrian kembali melirik ke arah suara itu, suara yang dikenalnya, suara yang selalu ingin ia dengar.
Langkahnya berbalik arah, berlari menuju gadis yang meneriakinya dengan suara yang melemah, sebelum meninggalkan senyuman untuk wanita paruh baya yang hampir digapainya.
"ATHA!" Suara lemah itu lolos dari bibir yang dihalangi alat bantu pernafasan setelah sekian lama bibir itu bungkam. Mata lelaki itu perlahan terbuka, mengawang ke arah lampu yang menyorotnya, disertai dengan setetes cairan bening yang lolos dari sudut matanya. Matanya terbuka sepenuhnya, melihat sekitaran ruangan yang penuh akan alat, bukan lagi tempat kosong yang hanya menampakkan warna putih tanpa celah. Ia terbangun dari tidur lamanya.
"Adri," panggilan itu sontak membuat Adrian segera melepas alat bantu nafas itu, lalu memeluk gadis yang tepat berdiri di samping ranjangnya.
"Gue Vanka, Dri," ucap gadis itu lirih. Bertepatan dengan pintu ruangan itu terbuka dan menampakkan Aletha yang berdiri terpaku dengan mata yang berkaca.
Sadar. Adrian membuka matanya.
"Atha," gumamnya lirih.
Vanka melepas pelukan Adrian, kemudian berlalu keluar ruangan untuk memanggil dokter agar memeriksa lelaki yang baru sadar itu.
"Alhamdulillah, Adrian sudah melewati masa kritisnya, semangat dan keinginan sadar dalam dirinya besar sehingga berpengaruh sekali pada kesadarannya. Kami akan lebih dulu melakukan pemeriksaan lainnya hari ini, sehingga lusa pasien sudah dapat pulang." Jelas dokter kepada Vanka, karena memang hanya ia yang kebetulan ada menengok Adrian.
"Saya permisi..." ucap dokter sebelum akhirnya meninggalkan ruangan.
"Sorry Van," ucap Adrian menatap Vanka yang berjalan mendekat ke arahnya. Ia sadar dirinya telah menyakiti perasaan perempuan itu lebih dari sekali, dan kini ia kembali mengulangi kesalahannya dengan menyangka bahwa gadis dihadapannya adalah Aletha.
"Santai, gue ngerti Dri. Lagian kita udah berlalu setahun lalu. Nanti gue yang jelasin ke dia." sahut Vanka santai dengan senyuman teduh yang sudah lama sekali Adrian tidak melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend is Bad Boy
Teen Fiction-[ZONA BAPER] Entah apa yang mereka lihat darinya. Dari lelaki berpenampilan urakan dengan kelakuan yang super absurd itu. Dia yang selalu ingin mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Dan benar saja dia memang selalu mendapatkan apa yang menjadi ing...