14 – [UNDANGAN]
"Lihat itu, Mrs. Stark di sini!"
"Aw, sayangnya dia masih dalam suasana berduka. Aku tidak tega melihatnya."
"Tetap kuat, ya, Sayang. Suamimu hebat, anakmu cerdas di dalam kelas. Kau sungguh beruntung memiliki mereka."
---dan yang lainnya.
Sungguh hari yang sempurna ketika ucapan-ucapan itulah yang menyapaku di hari pertamaku datang ke sekolah Morgan---dan oh, jangan lupakan wajah berduka mereka.
Uh...aku sangat berharap Happy terpikir mengantar May ke sini agar aku tidak perlu menanggapi semua itu dengan senyum palsu. Bukan, bukan maksudku masih berduka atas kepergian Tony karena kau tahu kalau orang itu sudah kembali mewarnai hidup orang terdekatnya sekarang dalam wujud A.I-nya (walaupun tengah menghilang entah ke mana). Aku hanya...bosan. Bosan mendengar kalimat-kalimat itu, dan bosan membalasnya. Meskipun baru dua jam berlalu dari jam masuk Morgan, ucapan sejenis yang kuterima sudah tidak terhitung banyaknya.
Untung saja, untung, ada tingkah laku Morgan di dalam sana yang mengalihkan pikiranku. Dari jendela kelasnya sekarang, kulihat dia tengah bermain plastisin di sebuah meja lingkaran bersama satu anak perempuan kulit hitam dan seorang lagi anak laki-laki kulit putih. Mereka bertiga akrab sepanjang kelas tradisional itu, sesekali terlihat bercanda satu sama lain dan memainkan smartwatch si anak lelaki. Sepertinya yang dimainkan mereka sejenis simulasi membentuk bangun ruang, tapi aku tak tahu untuk apa atau menghasilkan hal apa. Yang jelas, beberapa kali kedapatan memainkan proyeksi hologram itu di kelas tradisional, ibu gurunya bukan menegur, tetapi mengelus kepala mereka bertiga---terutama Morgan---dan melangkah ke anak yang lain.
Padahal, Morgan bisa bertingkah lebih lucu kalau 'ditegur', dan entah kenapa aku ingin sekali melihatnya.
Omong-omong, sejak TONY menghilang, hanya butuh waktu semalam untuk Morgan menerima fakta itu, dan aku senang melihatnya bisa ceria lagi sekarang.
Lima belas menit kemudian, jam istirahat tiba. Setelah ini, tersisa satu jam pelajaran lagi. Jam pelajaran itu akan dilaksanakan di luar karena olahraga, makanya Morgan membawa serta tas sekolahnya begitu ke luar kelas.
Senyumnya melebar kepadaku di luar pintu masuk. "Mom!" Dia berlari, memelukku di tengah ruang tunggu ini. Beberapa lirikan sedikit mengganggu momen kebersamaan kami, tapi kuacuhkan semua itu dengan membuka pelukan lalu memandang Morgan.
"Jadi, siapa nama mereka?"
"Yang tadi bermain denganku di dalam?"
"Ya."
"Max dan Rossie," Morgan menjawab sambil kembali melakukan kebiasaannya yang lucu itu: memilin-milin rambut. "Mereka baik, dan satu-satunya di antara teman-temanku yang tidak lagi menghiraukan bahwa aku adalah Stark."
Oh? Begitukah?
Aku merasakan alisku terangkat begitu saja mendengar implikasi ucapan gadis kecilku itu. "Apa yang salah dengan seorang Stark?" Aku tak tahan untuk bertanya padanya.
Membalasku, Morgan tersenyum simpul. Ada raut malu yang terlihat di sana, tapi kemudian muncul juga raut bangga. Aku menarik napas, hendak menginterupsi jawabannya itu. Namun kemudian, ia mengeluarkan balasan, "Bagus.... Aku hanya sedikit tidak nyaman dengan titelnya. Tapi tak apa, ibu guru tetap memperlakukanku sama seperti yang lain."
Mau tak mau aku tersenyum mendengar pengakuan itu. Mungkin saja ucapan Morgan barusan adalah satu hal terjujur yang pernah kudengar, dibanding dari Harley, Peter, bahkan Tony sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGACY [Fan Fiction] ✔
Fanfiction[Setting waktu setelah Avengers Endgame] [Fanfict MCU] "Kau bisa istirahat sekarang." Itulah kalimat terakhirku untuknya. Untuk pahlawan terbaik. Untuk sang penyelamat jagad raya. Untuk ayah terbaik bagi anak-anak kami. Dia pergi dengan tenang, aku...