37 - [RUMAH ABADI] - 1
Pepper pov
Secara keseluruhan, semua ketegangan itu berakhir ... indah. Lima jam kemudian dari pertemuan keluarga di markas New Avengers, lalu ke rumah Scott dan Hope untuk meminta rumah miniku kembali, aku memboyong keluarga kecilku kembali kemari.Ya, rumah pantai yang dipersembahkan oleh TONY itu. Tepat sore hari, kami tiba di tanah bekas rumah itu. Peter mengambil rumah yang dimaksud dari tas Morgan dan meletakannya di tengah tanah.
Dia menoleh, mengangguk kepadaku. Aku menekan tombol pembesar itu, mengabaikan Peter yang memundur agak ngeri setelahnya. Harley terkekeh, suara hologram Tony dari smartwatch baru Harley menyusul setelahnya.
"Kau memalukan, Nak. Sudah pernah melihat Scott berubah, tapi masih kaget melihat rumah yang bisa membesar dan mengecil?"
"Ini rumah, Dad!" Peter membela diri, berusaha mengatakan bahwa kekagetannya barusan adalah hal yang luar biasa.
Hh...dasar tiga pria jagoanku itu. Menanggapi interaksi mereka, aku hanya mendengkus tipis dan mempersilakan mereka, "Sebaiknya kita masuk sebelum angin petang semakin dingin."
Peter, yang menggandeng Morgan, dan Harley mengekoriku. Kami bertiga masuk, menaiki undakan tangga pertama.
Namun, bukannya memimpin mereka masuk dengan cepat, gerakan semacam ini terasa dejavu untukku. Aku terpaku, termenung menatap pintu kaca bertirai krem itu karena teringat satu momen yang terasa sama dengan Tony asliku.
Ya, momen pindahan kami ke rumah asri di East Coast, lima tahun lalu.
Kala itu, kepindahanku dan Tony bukan suatu kejutan meski dilaksanakan dua hari sebelum kami menikah. Kalian tahu, situasi saat itu tidak tepat untuk beromantis ria. Usai kejadian Thanos, Tony pun masih lemah karena saat itu belum genap satu minggu kepulangannya dari luar angkasa.
Sepanjang perjalanan, kami pun saling diam. Hanya sesekali kami bercakap-cakap. Ketika ditanya olehku, kenapa dia begitu hening hari itu, Tony hanya menjawab,
"Aku tidak mau merusak konsentrasi menyetirmu. Jangan sampai setelah ini kau yang pergi."
Ketika itu, aku hanya menghiburnya dengan mengatakan semuanya baik-baik saja. Tony pun mengiyakan. Sayang sekali, sorot matanya tidak pernah bisa bohong. Beban sangat terlihat di sana. Sesekali, Tony memandangku dengan sorot terluka dan bersedih---traumatis yang melanda fisik dan emosinya turut memperparah kondisi Tony saat itu.
Singkatnya, ya ... dia begitu hancur hari itu.
Bagaimana tidak? Siapa pula yang tidak akan hancur mendengar Steve, Nat, Bruce, bahkan Thor pulang dengan kekalahan melawan Thanos untuk kedua kalinya? Bahkan, sedetik setelah mendengar kabar itu Tony tak henti menggumamkan hal yang sama,
"Aku tidak berguna. Aku tidak berguna. Aku tidak berguna."
Meskipun begitu, tahukah kalian, begitu aku menghentikan mobil di depan kabin kami di East Coast dan mendudukannya di atas kursi roda, Tony mengulas satu senyum yang damai, tenang.
Untuk pertama kalinya---entah bagaimana---aku berhasil melihat Tony lebih mencintaiku daripada armornya. Aku balas tersenyum menatapnya. Tangan kurusnya kemudian membelai tanganku pelan.
"Ayo, kita melihat-lihat. Ke dalam dulu saja."
"Oke." Aku mengangguk, hendak mendorong kursi roda itu ke tangga pintu masuk.
Namun, Tony tiba-tiba berusaha berdiri. Aku sigap mengunci rodanya dan menyuruhnya duduk kembali. "Apa yang kau lakukan? Duduklah---"
"Ms. Potts," Tony kemudian mencengkeram bahuku, mencari tumpuan, "kalau perlu, aku akan merangkak dengan senang hati biar tur rumah baru kita terasa lebih lama. Ayolah, jangan anggap aku lemah."
Akhirnya, aku menyerah pada sangkalan itu, memutuskan untuk memapah Tony menuju pintu masuk. Setelah tiba di hadapan pintu kaca bertirai krem itu, Tony mengeluarkan kunci dan membukanya.
Pria itu menoleh kepadaku, tersenyum, "Selamat datang di rumah keluarga Stark, Mrs. Stark."
Kala itu, aku menyunggingkan senyum simpul yang sama bahagianya dengan Tony. Kami pun melangkah masuk. Tiba di rumah teve, aku memandang sekeliling dengan takjub. Semua yang tersaji di sini begitu ... tradisional, berbeda dengan rumah di Malibu, Stark Tower, atau Avengers Tower.
Siapa sangka seorang teknokrat seperti Tony Stark bisa membumi seperti ini?
Yah, maksudku tidak ada suara robot yang menyambut kami, dan itu sudah cukup membuktikan kepadaku bahwa dengan rumah ini, Tony menunjukan sisi manusiawinya. Ya kan?
"Kau ... suka? Ini akan jadi rumah abadi kita, Pep."
Rumah abadi .... Kini, kilasan memori itu membuatku memandang rumah pantai ini dengan tenang. Tak ada lagi air mata yang jatuh saat aku mengenang Tony---setidaknya di depan anak-anak. Kini, saat melihat sekeliling, bukanlah ketradisionalan yang tampak. Kini, hasil didikan Tony berseliweran di sekelilingku, berceloteh dengan lucunya tentang bagaimana meminikan rumah ini tidak mengubah apa pun.
Salah satunya, isi kulkas.
Melepaskan diri dari genggaman tangan Peter, Morgan berlari ke arah dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil tiga juice pops mangga dari sana dan menyerahkan dua di antaranya kepada Harley dan Peter.
Dua respons berbeda ditunjukan mereka. Harley hanya menerimanya dan mengatakan terima kasih, sementara Peter mendekap Morgan dan membiarkan anak itu memakan juice popsnya di pangkuan Peter. Mereka makan bersama.
Merasa mereka akan membutuhkan waktu saudara bertiga, aku berlalu ke lantai dua. Balkon depan kamarku sepertinya merupakan tempat yang bagus untuk melepas lelah sekaligus berbincang dengan hologram Tony.
Tak menghiraukan kamarku yang masih rapi pula, aku ke luar. Angin petang yang dingin langsung menerpa wajahku dengan lembut. Belaian udara alam itu makin membuaiku ketika aku menyandarkan diri ke pembatas balkon, melipat kedua tanganku di atasnya setelah meletakan smartwatchku di atas batang besi itu.
"Memikirkan sesuatu, Ms. Potts?"
"Yah," aku menghela napas, "ya. Tapi hanya beberapa hal mengenai esok hari---dan persiapan pernikahan Happy tentu saja."
"Jangan khawatir soal itu. Aku sudah menyelinap ke sistem informasi ponselnya dan membuat pengingat agar orang itu mulai mengurus pernikahannya besok."
"Masih saja sopan, ya." Aku menyeringai membalasnya, mengeluarkan sarkas bernada santai.
Hologram Tony tertawa. "Siapa suruh dia membuat password yang tidak kreatif."
"Apa memangnya?" tanyaku acuh tak acuh.
"Paa ... ss ... wo ... rd. Morgan pun bisa mengutak-atik ponselnya kalau seperti itu."
Kali ini aku setuju dengannya. "Yah, benar. Pemikiran yang amat pendek dari seorang mantan kepala keamanan, Tony."
Tony terkekeh, tetapi ia tidak melanjutkan obrolan lagi. Bagiku, itu tanda kalau akulah yang harus memulai kembali sesi cerita-cerita ini.
"Tony," ketika hologram itu menoleh, aku melanjutkan, "kau jangan bertindak bodoh lagi, ya. Cukup yang kemarin saja. Kita harus sama-sama menerima takdir. Kau ditakdirkan untuk hidup kembali dalam bentuk hologram, jadi aku mohon, terima saja itu."
Dan, sebuah decihan tipis lolos dari mulut Tony, seolah meremehkanku. Meskipun begitu, aku tahu dia setuju dengan permintaanku. "Tentu aku tidak pernah lupa perjanjian kita, Pep. Tenang saja. Kali ini, jasad Tony akan hanya ada satu."
Kemudian, beberapa saat kemudian kami menikmati suasana. Petang semakin suram. Mendung muncul di ujung lautan, perahu layar dan kapal wisata mulai kembali ke daratan.
Masih, aku termenung, setidaknya hingga sesuatu mengusik pikiranku.
"Tony,"
"Hm?"
"Sepertinya ...."
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
LEGACY [Fan Fiction] ✔
Fanfiction[Setting waktu setelah Avengers Endgame] [Fanfict MCU] "Kau bisa istirahat sekarang." Itulah kalimat terakhirku untuknya. Untuk pahlawan terbaik. Untuk sang penyelamat jagad raya. Untuk ayah terbaik bagi anak-anak kami. Dia pergi dengan tenang, aku...