BAB 9

21.2K 1.3K 72
                                    

"Nean dingin!" teriak Kezia saat Nean begitu lihai mengemudikan motor sport miliknya.

"Peluk aja yang kenceng, awas jatuh." Tangan mungil itu langsung memeluk Nean dalam dekapannya yang hangat, terkadang ada kalanya Kezia merasa nyaman di dekat Nean dan merasa takut bersamaan.

Nean itu candu, bagaikan heroin. Memang nyaman dan memberi efek tenang, tetapi akan memberikan racun bagi dirinya sendiri jika terlalu nyaman, menghilangkan akal dan kesadaran.

"Nean pelan dong, nanti kalau nabrak gimana?!" teriak Kezia karena suaranya termakan angin dan kenalpot yang menggerung keras. Mungkin ucapannya tidak di dengar oleh Nean, tetapi ternyata dirinya salah. Nean merespon apa perkataan Kezia dengan memelankan motornya lalu satu tangan kirinya memegang hangat tangan Kezia yang melingkar di perutnya.

Hanya sedikit perlakuan saja Kezia merasa baper. Hingga tidak terasa mereka sudah sampai di depan sate ayam di dekat perkomplekan rumah Kezia, rasanya dia merindukan suasana di sekitar sini.

Entah apa yang membuat Nean tidak membolehkan dirinya untuk pulang ke rumah, padahal di rumah dia tidak sendirian. Ada asisten rumah tangga, ada satpam, dan tentunya Kenzo yang jarang pulang.

Hampir lima bulan sejak kejadian di mana Kezia berpindah tangan, Kenzo tidak pernah terlihat seolah ditelan oleh bumi.

Mungkin benar, Kenzo berniat menjualnya kepada orang lain. Kezia tidak tahu apakah dia harus bersyukur kepada Tuhan jika orang yang memilikinya saat ini Nean, ataukah dia harus menyesal. Tiba-tiba dia kembali murung mengingat kerinduannya kepada saudara laki-lakinya itu.

Tepukan di bahunya menyadarkan Kezia ke alam sadar. "Lo mau makan di mana?" tanya Nean.

"Apartemen aja deh, di sini banyak orang bingung duduk di mana," katanya dengan gugup.

Melihat sekitaran yang sangat ramai membuat Kezia pusing karena dirinya tidak terlalu suka tempat berdesak-desakan untuk duduk. Setelah memesan beberapa menit akhirnya pesanan mereka sudah diterima dan keduanya pun beranjak dari tempat untuk pulang.

Di apartemen dengan semangat empat lima Kezia buru-buru membawa piring menuju ruang tv, di sana telah ada Nean yang sudah duduk di sofa empuknya.

Tanpa memperdulikan Nean, Kezia langsung menyiapkan satenya dan makan penuh suka cita. Hal tersebut tidak lepas dari pengamatan Nean, sampai dia menggelengkan kepalanya sedikit terkekeh melihat Kezia yang makannya belepotan seperti anak kecil saja.

Bumbu sate sudah menghiasi bibir mungilnya. Sampai beberapa menit pandangan Kezia melirik ke arah Nean yang terus menatap tanpa berkedip, mata tajamnya terlihat sendu dan teduh.

"Nean mau?" tawar Kezia memberikan dua tusuk sate yang tersisa, dengan gaya polos dan layaknya anak kecil. Bahkan Nean sendiri tidak percaya badan sekecil itu mampu menghabiskan dua puluh tusuk sate dalam beberapa menit.

"Baru nawarin, kemana aja tadi," kata Nean sinis membuat Kezia kelabakan.

"Yaudah yuk beli lagi, masih buka kok jam segini, kalau Nean mau Kezia anter."

"Gue mau bumbu satenya aja," ucap Nean penuh makna.

"Entar Kezia pisahin dulu, pake nasi nggak?"

"Nggak perlu, langsung aja," katanya langsung membawa Kezia mendekat dan tidak lama benda kenyal itu langsung menempel dibibir mungil Kezia, dan dia juga merasakan kalau Nean sedang membersihkan sisa bumbu dengan cara berbeda.

Wajahnya bersemu bewarna merah tomat, matanya terpejam sampai tidak sadar kalau tangannya sudah melingkar di leher Nean. perlahan mereka menikmati waktu berdua seperti ini, dan berharap denting jam berhenti sejenak atau selamanya.

The Cruel BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang