BAB 33

11.6K 966 70
                                    

Langkah kakinya terlihat begitu goyah, sesekali dia mencoba untuk kuat. Tanah merah yang masih basah harus dia pijaki, sudah lama sekali rasanya tidak berkunjung kemari. Terlalu fokus untuk dunianya, dan dirinya tidak pernah bertemu rindu walau hanya sebatas batu nisan.

Chalista Lawrence, nama yang indah.

Nean langsung memasukan bunga di tempat yang sudah di sediakan, bunga lily kesukaan ibundanya.

Tangannya yang bersih dan kekar, membersihkan nisan itu dengan bersih dan membawa beberapa tanaman liar dan daun kering di makam itu. Matanya menatap tajam nisan tersebut, wajahnya kini sedikit muram. Namun tidak dengan lengkungan manis di bibirnya, senyuman terbaik akan dia persembahkan selalu.

Nean juga bukan tipe manusia yang selalu mencurahkan hatinya dengan berbicara di depan nisan seperti orang lainnya. Hanya saja dia berbicara lewat hati, Nean yakin ibunya dan Tuhan pun akan mendengar permintaannya.

Mendengarkan semua rasa sakit dan kekecewaan Nean semasa hidup. Untuk pertama kalinya Nean mengadu ke seseorang yang sudah tiada, tentang beratnya menjalani hidup.

Walau tidak terucap oleh bibirnya yang terasa kelu.

Nean mengakui jika dirinya adalah manusia brengsek, manusia yang penuh dosa. Tidak pernah sembayang dan hanyut dalam kesenangan duniawi, rasanya Nean terlalu malu meminta kepada Tuhan semua doanya terkabul. Kali ini tangannya terkepal, menahan semua gejolak batin dirasakannya. Semua rasa sakit dan keresahan yang tidak bisa dia lepaskan begitu saja, walau Kezia ada di sampingnya.

Nean tidak akan membuka lukanya seperti apa, Kezia yang selalu di sampingnya tidak harus merasakan luka lagi. Cukup Nean yang beralih peran gadisnya saat dulu, kini baginya Kezia itu harus bahagia.

Bagaimanapun caranya.

Nean merogoh sakunya dan memperlihatkan cincin putih yang dihiasi satu berlian sangat cantik dan elegan. Ini milik mendiang ibunya, cicin kesayangannya yang selalu dipakai. Karena cicin ini didapatkan dari ayahnya saat ulang tahun ibunya untuk terakhir kali, dan kebahagiaan dirinya terkahir kali merasakan kehangatan di masa itu.

"Nean izin untuk memimiliki cincin ini," lirihnya.

***

Denzel menatap arloji di tangannya, begitu juga Kezia. Mereka sudah nunggu di lobi tempat tinggal Nean, Denzel nampak tampan memakai tuxedo miliknya. Dengan pita berwarna merah di lehernya, memberikan kesan elegan dan juga manis dalam bersamaan.

Berbeda dengan Kezia, dia hanya memakai piyama seperti biasa. Tidak ada persiapan sama sekali.

"Kayaknya Nean nggak bakalan dateng. Denzel, maafin aku yah udah janji buat datengin Nean tapi nggak jadi," kata Kezia dengan penyesalan dan rasa bersalah sudah berjanji kepada cowok di depannya ini.

"Nggak masalah, gue yang minta maaf," kata Denzel dengan senyuman manisnya.

"Jangan cemberut gitu, sini gue cubit," lanjutnya mencubit pipi Kezia hingga gadis itu tersentak kaget. Denzel sudah kembali, memperlakukannya dengan kelakuan teingilnya.

"Ih Denzel! Pipi Kezia nanti merah," lirih Kezia mengerucutkan bibirnya dengan kesal.

Mengundang kegemasan yang sudah terjadi lebih dari berapa ratus kali. Lalu tatapannya kembali seperti biasa tidak ada tawa, hanya ada mata yang berkedip beberapa kali.

"Ada apa?" tanya Denzel heran dengan perubahan Kezia.

"Kamu kemaren marah?" tanya Kezia pelan, dengan wajahnya yang menyembunyikan rasa takut.

The Cruel BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang