AKU BERLARI SECEPAT YANG KUBISA. Tak peduli orang-orang berteriak marah karena kutabrak. Hampir pukul satu malam sekarang, tapi rumah sakit masih ramai.
Kubuka tirai yang menutupi bilik rawat Ibu di ruang IGD. Rasa takut dan khawatir begitu kuat mencengkeram hatiku saat kulihat Ibu terbaring dengan mata tertutup.
Selang dan kabel bersilangan di atas tubuh Ibu, lehernya dipasangi penyangga, hidungnya dipasangi masker oksigen. Hampir sekujur tubuhnya dililit perban.
Aku mendekati ranjang. Mataku tertuju pada wajah Ibu. Aku bahkan tak menoleh saat seseorang datang dan membuka tirai di belakangku.
"Bianca?" tanya orang yang baru saja masuk itu--seorang lelaki. Aku hanya mengangguk tanpa memandang ke arahnya, "Saya dokter jaga. Tadi saya yang menelepon Anda," katanya. Dia berdiri di sampingku, "Bu Diandra mengalami benturan keras di kepala dan sebagian besar tulang di bagian kanan tubuhnya patah. Dugaan saya, akibat terjepit dasbor dan pintu mobil. Saya dengar, mobil yang dikendarai ibu Anda tertabrak dari beberapa arah sekaligus--"
"Dikendarai ibu saya?" potongku. Kukira Ayah yang memegang setir.
"Bu Diandra ditemukan di kursi pengemudi," jelasnya. Lalu, dengan suara lebih pelan, dia melanjutkan, "Kami berusaha melakukan yang terbaik, tapi saat ini..." dia berhenti sejenak, "Saat ini, yang bisa kita lakukan hanya menunggu sampai beliau sadar."
Aku mengangguk paham. Tanpa perlu dia menjelaskan apapun, aku dapat melihat sendiri kondisi Ibu saat ini. Kakiku gemetar hebat. Aku mulai kesulitan menjaga badanku tetap tegak.
"Ayah saya, Dokter. Dia di mana?" tanyaku.
Aku mengharapkan jawaban cepat tanggap seperti yang dia berikan sejak tadi. Tapi, kali ini, dia tak segera merespon pertanyaanku. Dengan terpaksa, kualihkan mataku dari wajah Ibu.
Dokter itu masih muda. Dia menatapku gelisah dan, cukup dengan melihat ekspresi wajahnya, aku bisa tahu sesuatu yang buruk telah menimpa ayahku.
"Ayah saya kenapa?" tanyaku lagi. Suaraku tercekat.
Dia menggeleng perlahan.
Aku terhuyung. Sedikit kekuatan yang tersisa di kedua kakiku mendadak lenyap. Dokter sigap memegangi, lalu mendudukkanku di satu-satunya kursi yang tersedia. Kulihat bibirnya bergerak-gerak. Dia mengatakan sesuatu padaku, tapi tak dapat kudengar suara apapun keluar dari mulutnya. Telingaku penuh dengan denging yang kutahu berasal dari dalam kepalaku sendiri.
Kupaksa diriku menarik napas panjang-panjang, lalu mengeluarkannya sedikit demi sedikit dengan teratur. Mataku tak melepaskan mata dokter muda yang masih memegangi kedua lenganku--mungkin takut aku akan jatuh jika tak dipegangi. Mulutnya terus bergerak-gerak.
"...yah Anda meninggal sebelum ambulans datang ke lokasi kecelakaan. Saya turut berduka," sayup-sayup suara dokter itu terdengar saat telingaku berhenti berdenging. Suaranya terdengar aneh. Seperti teredam. Seolah ada kapas yang menyumbat telingaku.
Dia keluar dari bilik setelah itu. Meninggalkanku sendiri--memberiku privasi.
Kututup wajahku dengan kedua tangan. Aku bebas menangis sekarang.
***
Ruang IGD mulai sepi. Tangisku pun telah berhenti sejak tadi. Tapi, aku belum berani melihat jenazah Ayah. Selain tak yakin akan sanggup melihat Ayah terbujur kaku, aku juga tak ingin meninggalkan Ibu. Bagaimana jika dia membuka mata saat aku pergi? Atau--yang paling kutakutkan--bagaimana jika Ibu berhenti bernapas saat aku tak ada di sampingnya?
Kurebahkan kepalaku di dekat tangan Ibu. Suara detak jantungnya--satu-satunya suara yang kupedulikan saat ini--terdengar dari monitor EKG. Bunyinya yang teratur berhasil meredakan sedikit kekhawatiranku. Aku bahkan nyaris tertidur jika bukan karena lelaki dari bilik di samping bilik rawat Ibu tiba-tiba memanggil dokter jaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...