14 - Bendungan

113 12 0
                                    

RASANYA SEPERTI DISERET MUNDUR KE MASA LALU. Setiap detik yang kulalui di rumah sakit malam itu, setiap kata yang diucapkan Ibu sebelum dia meninggal, dan setiap air mata yang kukeluarkan pada hari itu. Aku dapat mengingat semuanya dengan jelas seolah baru terjadi kemarin.

Seperti lima tahun lalu, Arka pun menunggu sampai tangisku reda dengan sendirinya sekarang. Dia tidak memelukku di pangkuannya kali ini, tapi membiarkan kepalaku bersandar di bahunya. Satu tangan Arka mengelus rambutku, sementara yang lainnya sesekali menghapus air mata di pipiku.

"Kamu pasti kaget," kataku.

Senyum kecil--senyum malu--muncul di bibirku. Kami duduk berdampingan di pojok favoritku. Dua cangkir teh hangat menemani kami.

"Yakin, kamu sudah nggak apa-apa?" Arka menatapku sangsi. Syok masih belum hilang dari wajahnya.

Aku mengangguk--seratus persen yakin aku baik-baik saja sekarang, setelah berada di samping Arka. Sesak yang sejak tadi menyiksaku pun telah hilang, mengalir keluar bersama air mata. Memang hanya Arka yang mampu mengobati hatiku. Bodoh sekali jika aku mengira akan sanggup berjauhan darinya.

"Maaf," ujarku sungguh-sungguh.

"Aku yang harus minta maaf."

"Nggak," bantahku, "Kamu nggak salah apa-apa."

Arka menggeleng tak setuju, tapi kujepit bibirnya dengan telunjuk dan ibu jariku agar dia tak membantah.

Teman favoritku itu memang tak bersalah. Apapun yang dia lakukan bersama Alisa malam itu bukan kesalahan. Aku tak berhak merasa dikhianati saat Arka berkencan dengan perempuan manapun. Bagaimana bisa dia berkhianat jika tak pernah ada komitmen di antara kami?

Arka merengut kesal karena kularang bicara, tapi tak membantah lagi. Dia hanya mengambil tanganku, lalu menggenggamnya dengan dua tangan.

"Jadi, sekarang, kamu mau cerita kenapa kamu menangis?" tanyanya.

Aku menegakkan dudukku--bersiap menceritakan segalanya. Aku telah memutuskan untuk tak merahasiakan apapun lagi darinya, termasuk pertemananku dengan Nata.

"Kamu masih ingat, aku pernah tanya soal orang yang kamu usir dari Ice Cream Corner dulu?"

Arka tampak terkejut. Aku yakin dia tak mengira topik mengenai Nata akan muncul dalam pembicaraan kami hari--malam--ini. Tapi dia tak berkata apa-apa. Kugigit bibir bawahku sekilas--tiba-tiba merasa sangat bersalah padanya.

"Aku belum bilang sama kamu... Dari dulu, aku mau bilang, tapi takut kamu marah. Terus, belum sempat aku kasih tahu kamu, kita keburu marahan, jadi..." aku menarik napas dalam-dalam, "Sebenarnya...mm...aku kenal sama orang itu--sama Nata."

Takut-takut kutatap Arka. Kukira dia akan marah, tapi dengan tenang dia berkata, "Aku tahu, kok. Aku pernah lihat kalian keluar dari kedai mie yang di sana," dia menunjuk kedai mie di seberang jalan dengan dagunya.

Glekk! Kutelan ludahku.

"Berarti, kamu juga tahu kalau Nata jadi pendamping wisudaku hari ini?" tanyaku dengan suara kecil.

Arka menggertakkan gigi. Kuanggap itu sebagai 'iya'.

"Pulang dari acara wisuda, Nata mengajakku ke--" aku berhenti mendadak. Sesuatu baru saja melintasi kepalaku, "Kamu tahu soal ini," kataku lambat-lambat. Sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

Aku mendongak menatapnya. Satu alis Arka terangkat. Kebingungan mendominasi wajahnya. Dia tak mengerti maksud ucapanku.

"Iya, kan? Kamu tahu, kan? Soal rumah?" Yang ini, baru pertanyaan.

"Maksud kamu ap--"

"Nata mengajakku ke rumahnya tadi--rumahnya!" aku meledak sebelum Arka sempat menyelesaikan tanyanya, "Aku nggak tahu--sama sekali nggak pernah terbayang!--kalau dia bisa tinggal di rumah Ibu. Tapi, kamu tahu, kan? Kamu kenal sama abang Nata. Kamu yang jual rumah itu ke dia. Iya, kan?" tudingku keras.

Arka meringis. Kurasa dia mulai paham alasanku menangis tadi.

Lalu kata-kata berhamburan dari mulutku seperti air yang keluar dari bendungan pecah. Kedua tanganku bergerak-gerak frustrasi selama aku bicara.

"Aku nggak mengerti. Aku baru kenal Nata, tapi ternyata kamu sudah kenal lama sama dia--dan aku nggak pernah tahu kalau kamu punya kenalan bernama Nata! Aku juga nggak tahu kalau abang Nata yang beli rumah Ibu. Nata!--orang yang baru kukenal beberapa bulan...orang yang kamu usir dari sini--ternyata tinggal di rumah Ibu. Rumah Ibu! Apa mungkin cuma kebetulan? Apa dunia memang sekecil itu? Apa Bogor sekecil itu?"

Arka terdiam di sampingku. Entah apa yang dia pikirkan. Aku sengaja tak menatap wajahnya.

Meski bukan salah Arka jika aku tak mengetahui identitas pemilik baru rumah itu--aku sendiri yang dulu menolak terlibat dalam transaksi jual-beli dan menguasakan semuanya pada Arka--tapi tetap saja aku merasa kesal padanya.

Tiba-tiba Arka melingkarkan kedua lengannya di bahuku. Refleks kusarukkan wajahku ke dadanya. Kekesalan terlupakan. Kuhirup napas panjang sampai aroma tubuh Arka memenuhi paru-paruku. Aromanya tak pernah berubah--aroma maskulin lelaki bercampur aroma es krim, sedikit vanila, dan rintik hujan.

Aku selalu suka saat Arka memelukku. Pelukannya membuatku lega, seolah dinding yang menghimpit hatiku mendadak lenyap.

"Kamu pasti terpukul banget waktu lihat rumah itu," dia berujar pelan.

Aku mengangguk kecil.

"Harusnya aku ada di sana buat kamu," lanjutnya. Terdengar penuh penyesalan.

"Kamu ada di sini sekarang. Itu yang paling penting."

Arka mengubur wajahnya di rambutku. Napasnya hangat menggelitik leher.

"Kamu pasti lama banget menungguku datang," aku meniru ucapannya tadi, "Harusnya aku datang lebih cepat."

"Kamu sudah datang sekarang," dia balik meniru jawabanku, "Itu yang paling penting," tandasnya.

Aku tersenyum. Kuletakkan telapak tanganku di dadanya--tepat di atas detak jantungnya. Irama jantung Arka yang teratur bagai musik di telingaku. Musik yang sangat, sangat menenangkan.

"Arka," panggilku, "Kamu belum jawab. Kamu kenal sama abang Nata?"

Arka tak bersuara.

"Arka?" aku memanggilnya lagi sambil mengangkat kepala untuk melihat wajahnya. Tapi, Arka malah mengeratkan pelukannya--mengembalikan kepalaku ke dadanya.

"Jangan bergerak dulu," dia berkata dan aku pun berhenti bergerak, "Kamu jangan pergi ke mana-mana," pintanya.

Aku menurut. Aku memang tak berniat pergi ke manapun. Tidak, jika tanpa Arka--tak akan pernah lagi. Bahkan dalam mimpi sekalipun, aku tak ingin terpisah darinya.

☀️

Pendek yak.. gapapa.. biar penasaran, hwahahahaa

Lanjut jangan nih?

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang