BERJAM-JAM AKU DUDUK DI RUANG IGD sambil tak berhenti meremas tangan Arka dengan kedua tanganku. Untuk kedua kali, aku menunggui orang yang kusayangi terbaring tak sadarkan diri di ruang IGD.
Orang pertama yang kutunggui tak keluar dari sini hidup-hidup. Karena itu, meski dokter meyakinkanku Nata akan segera sadar, aku dicekam rasa takut melihat matanya tertutup begitu lama.
Arka langsung datang ke rumah sakit setelah aku meneleponnya, terbata-bata menjelaskan kondisi Nata sambil menangis. Dia tak beranjak dari sisiku sejak datang tadi dan aku bersyukur karena tak perlu menunggui Nata sendirian.
Tapi, aku pun mengkhawatirkan Arka. Bagaimana perasaan Arka saat melihatku terus memandangi Nata? Bagaimana jika dia merasa terluka melihat kepedulianku pada lelaki yang bukan hanya adik tiri, melainkan rival cintanya juga?
Aku merasa bersalah karena telah memaksanya menemaniku saat aku menangisi Nata. Tapi, aku tak dapat benar-benar memikirkan kerusakan yang telah kubuat di hatinya sekarang. Pikiranku masih dipenuhi penjelasan yang diberikan dokter mengenai penyakit Nata.
Dokter bilang, pembuluh arteri koroner Nata bermasalah. Otot-otot arterinya mengalami penurunan elastisitas yang menyebabkan pengerasan atau kekakuan pada pembuluh.
Hal ini terjadi karena adanya penebalan dinding bagian dalam pembuluh arteri. Akibatnya, aliran darah Nata tersumbat dan jantungnya kekurangan oksigen.
Hampir empat tahun Nata mengonsumsi obat untuk mengatasi penyakitnya, tapi dokter bilang, penyumbatan pada arteri koroner Nata sangat serius. Kapanpun dan di manapun, Nata bisa terkena serangan jantung jika jantungnya tak mendapat suplai darah dan oksigen yang memadai--seperti yang terjadi hari ini.
"Kamu tahu soal penyakit Nata?" aku bertanya.
Arka tak menjawab. Aku pun mengalihkan mataku dari wajah Nata dan menatap Arka. Tapi, dia tak menoleh padaku. Dia tengah memandangi Nata dengan tatapan kosong.
"Arka," panggilku, "Kamu tahu soal penyakit Nata?"
Jeda beberapa detik sebelum akhirnya, dia berkata, "Aku nggak tahu."
Hanya itu jawabannya dan hanya dengan jawaban itu, aku dapat mengetahui perasaan Arka saat ini.
Bukan marah, bukan kesal, bahkan bukan sedih seperti dugaanku. Wajahnya memang kosong, tapi suaranya menunjukkan betapa dia terguncang melihat Nata terbaring sakit di hadapannya.
Apa mungkin Arka mengkhawatirkan kondisi Nata? Aku akan sangat senang jika benar begitu. Karena itu berarti, Arka masih memiliki kepedulian pada adik yang meskipun tiri, tetap adik semata wayangnya itu.
Inda dan Bu Candra tiba di rumah sakit setelah Nata dipindahkan ke ruang rawat inap. Keduanya tak banyak bicara saat kujelaskan kondisi Nata. Mereka bahkan tidak tampak terkejut--hanya khawatir.
Aku memperhatikan Inda yang sibuk memeriksa selang infus dan bicara dengan perawat yang tengah mengunjungi ruangan Nata. Aku juga memperhatikan Bu Candra yang cekatan memasukkan pakaian ganti Nata ke dalam lemari dan meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja.
Baru kusadari, mereka tidak datang dengan tangan kosong. Baik Inda maupun Bu Candra sangat tenang menghadapi kondisi Nata. Mereka bersikap seolah telah terbiasa melihat Nata diraw--
Tunggu! Bisa jadi, Inda dan Bu Candra memang terbiasa menunggui Nata di rumah sakit. Bahkan mungkin, mereka telah mengetahui Nata menderita penyakit jantung sejak lama.
Tapi, tak ada yang memberitahuku! Mereka sengaja tak memberitahuku.
Dengan kesal, aku menatap Inda. Tapi, dia tak menatapku. Dia malah berkali-kali melirik tangan Arka yang masih kugenggam erat di pangkuanku. Aku bahkan memergoki Inda diam-diam memandangi wajah Arka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...