"KAMU DENGAR, NGGAK? BIANCA?" Nata menatapku heran. Kami dalam perjalanan menuju apartemenku.
"Apa? Kamu bilang apa barusan?" aku berhenti berusaha menyalakan ponsel yang jelas-jelas tak mungkin menyala. Terburu-buru membuatku lupa mengisi ulang baterai ponselku pagi tadi.
Sebelum ini, ponsel mati tak pernah membuatku gusar. Toh, satu-satunya orang yang rutin menghubungiku hanya Arka, dan kami begitu sering bersama sehingga teman favoritku itu tak perlu repot-repot menelepon untuk mengajakku bicara.
Tapi, sekarang---setelah sepanjang sore dicengkeram ketakutan akan ditinggal Arka---aku merasa sangat gelisah karena tak dapat menghubungi ataupun dihubungi Arka.
"Kamu lagi tunggu telepon?" bukan menjawab, Nata malah balik bertanya sambil melirik ponsel yang terus kupegangi sejak tadi, "Atau, kamu perlu menelepon seseorang? Ponsel kamu mati?" Nata mengambil ponselnya, "Pakai ini saja."
Aku menggeleng. Bukan ide bagus menghubungi Arka dengan ponsel Nata. Hanya akan membuat Arka bertanya-tanya dan membuatku terpaksa menceritakan semua soal Nata.
"Nggak usah. Nanti saja aku telepon kalau sudah sampai apartemen."
Nata menaruh kembali ponselnya, kemudian tiba-tiba bertanya, "Siapa?"
"Siapa---apa?"
"Orang yang selalu kamu tunggu teleponnya. Orang yang dari tadi bikin kamu gelisah dan selalu mengecek ponsel."
"Oh," kataku. Rupanya sejak tadi, kegelisahanku tertangkap matanya, "Teman," aku menjawab.
"Teman? Ayolah, Bian! Masa kamu pikir aku bakal percaya kalau orang itu cuma teman?" Nata membentuk tanda kutip di udara dengan sebelah tangan saat menyebut kata 'teman'.
"Serius!" kuacungkan telunjuk dan jari tengahku ke atas, "Teman."
Nata sengaja menoleh untuk menatapku. Ekspresi wajahnya tampak begitu skeptis, begitu menggelikan sampai aku tak dapat menahan tawa melihatnya.
"Oke, oke. Kamu benar. Dia bukan cuma teman, tapi teman favoritku," satu-satunya teman yang kumiliki sebelum aku bertemu kamu, tambahku dalam hati, "Dia owner Ice Cream Corner. Namanya Arka."
Kulirik Nata yang telah kembali menatap ke depan, tapi air mukanya datar saja. Ini pertama kali kusebut nama Arka di depan Nata. Meski teman baruku tampak tidak terkejut mendengarnya, dia pasti akan syok jika kukatakan bahwa aku tahu dia mengenal Arka atau, lebih jauh lagi, aku tahu Arka pernah mengusirnya dari Ice Cream Corner.
Tapi, aku tak berniat membicarakan hal itu dengannya. Jika Arka yang telah menjadi temanku selama belasan tahun saja enggan menceritakan masalah yang terjadi di antara mereka, maka alasan apa yang akan membuat Nata---orang yang baru mengenalku selama beberapa minggu---mau mengungkapkannya padaku?
Nata berhenti bertanya. Dia bahkan terdiam hampir di sepanjang sisa perjalanan kami.
Kuketik empat digit angka di panel sentuh kunci pintu apartemen, lalu melangkah masuk dan seketika membeku begitu menyadari ada yang salah dengan apartemenku.
Apartemenku terang-benderang! Padahal aku tak menyalakan lampu saat berangkat pagi tadi.
Pelan-pelan aku menyisir ruang tengah dengan mataku---tiba-tiba khawatir apartemenku telah didatangi pencuri. Tapi, napasku berubah lega saat aku melihat tirai jendela yang kutinggalkan dalam keadaan terbuka, kini telah tertutup rapi.
Hanya satu orang selain diriku yang bersedia merapikan tirai di sini.
Dengan langkah lebar, kubawa kakiku ke dapur---tempat orang itu biasa menungguku sambil minum kopi---hanya untuk mendapati dapurku dalam keadaan kosong. Tak ada seorangpun di sana. Tak ada Arka. Hanya ada selembar kertas yang ditempel dengan magnet di pintu lemari es.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...