16 - Genderang Perang

123 11 0
                                    

PASTI ADA YANG SALAH. Mana mungkin Inda sesibuk itu sampai tak pernah sempat menemuiku? Dia memang harus mengikuti kelas pemantapan di sekolahnya hampir setiap hari. Tapi, Tiwi yang sama-sama ikut pemantapan plus kerja part time di radio pun masih bisa mampir ke apartemen. Kenapa Inda tak bisa?

Macam-macam alasan yang dia berikan. Mulai dari capek, banyak tugas, ada kegiatan ekskul di sekolah, sampai mengasuh Nana dan Lira. Aku tak akan curiga andai Inda memang sesibuk yang diakuinya padaku. Tapi, Tiwi bilang, Inda tak mengikuti kegiatan ekskul apapun di sekolah mereka.

Aku pun sampai pada kesimpulan bahwa dia memang sengaja menghindariku. Kuputuskan untuk mendatangi Inda di Mentari hari ini. Aku menginginkan penjelasan darinya.

"Ya ampun! Ibu?" aku berseru kaget.

Nyaris saja aku bertabrakan dengan Bu Candra yang tergesa-gesa keluar dari panti. Tanganku baru menyentuh gagang pintu saat pintu tiba-tiba terbuka dari dalam.

"Lho? Kamu sedang apa di sini?" dia berhenti untuk menyapaku. Tangannya sibuk merapikan sweater yang belum selesai dia kancingkan. Lalu, tanpa menungguku menjawab pertanyaannya, Bu Candra berkata, "Ibu pergi dulu, ya? Kamu masuk saja. Ada anak-anak di dalam."

Terburu-buru, Bu Candra pun pergi. Aku terpaku memandangi punggung Bu Candra yang menjauh, lalu menghilang dengan cepat. Tapi, aku lebih terpaku lagi melihat ruang tengah panti yang sunyi senyap. Halaman belakang pun sepi. Pintu-pintu kamar tertutup rapat seakan tak berpenghuni. Di mana mereka?

"Lho, Kakak lagi apa? Kok, ada di sini, sih?"

Tiba-tiba Tiwi telah berdiri tepat di belakangku. Aku terlonjak kaget dan tak habis pikir, kenapa semua orang seperti terkejut melihatku berada di sini? Baik Bu Candra maupun Tiwi bersikap seolah mereka tak mengira akan melihatku datang ke sini hari ini.

"Aku mau ketemu Inda."

Tiwi tampak bingung. "Lho? Inda, kan, nggak ada di sini, Kak," jawabnya dengan nada yang menyiratkan bahwa seharusnya, aku tahu Inda berada di mana.

"Oh," aku mengedarkan pandangan, "Kok, sepi? Anak-anak mana?"

"Di kamar masing-masing kayaknya, Kak."

Tiwi kembali terdiam. Aku mulai canggung berdiri bersamanya di tengah ruangan tanpa seorangpun yang bicara. Tiwi termasuk tipe orang yang sulit mengerem mulutnya, tapi sekarang, dia hanya diam menatapku. Aku pun pamit pulang--tak tahan menghadapi kebisuan Tiwi.

Sampai di mobil, kukeluarkan ponsel untuk mencari nomor ponsel Alisa yang diberikan Arka kemarin malam. Dia memaksaku menyimpan nomor itu meski kubilang, aku belum berniat menghubungi Alisa dalam waktu dekat. Aku masih perlu mempertimbangkan banyak hal seperti 'apa yang harus kukatakan' dan 'bagaimana cara terbaik mengatakannya'.

Karena itulah, aku datang ke panti hari ini. Selain ingin mencari tahu penyebab kejanggalan sikap Inda, aku juga ingin meminta pendapatnya mengenai Alisa. Tapi, sepertinya, aku memang harus menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan siapapun.

"Halo?" suara perempuan yang mengangkat teleponku menyapa ramah.

Keningku berkerut. Aku tak ingat Alisa memiliki suara seramah ini. Apa Arka telah salah memberikan nomor padaku?

"Halo? Siapa ini?" nada suara perempuan di ponselku meninggi, persis seperti cara Alisa bicara padaku selama ini dan aku pun yakin, ini memang suara Alisa.

"Mm, Kak? Ini aku, Bianca."

Jeda beberapa detik sebelum dia berkata datar, "Oh, kamu. Ada perlu apa?"

"Mm, aku perlu bicara sama Kakak."

"Bicara apa?"

Huft. Kutahan napasku sejenak, lalu kulepaskan perlahan. Cara Alisa bicara membuatku kesal. Aku harus berhati-hati agar kekesalanku tak meluap seperti terakhir kali kami bertemu.

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang