HARI BERLALU.
Minggu terlewati.
Bulan berganti.
Meski terasa lambat, waktu tetap berjalan seperti seharusnya.
Namaku telah terdaftar sebagai calon mahasiswa di salah satu universitas swasta di Jakarta. Tinggal menghitung hari sebelum ujian masuk gelombang pertama. Aku berharap bisa langsung lulus, tapi jika tidak, masih ada kesempatan untuk mengikuti ujian masuk gelombang berikutnya.
Aku bahkan mengajukan beberapa lamaran beasiswa ke luar negeri, meski tak terlalu berharap akan ada universitas yang mau menerima lamaranku.
Ujian tak menggangguku. Aku justru bersemangat ingin segera menguji kemampuanku sendiri. Tapi kakak-beradik itu menggangguku. Aku tak mengerti bagaimana keduanya bisa sama-sama gigih dan keras kepala. Adiknya tak pernah menyerah mendekatiku, sementara kakaknya tak pernah berhenti menjauhiku.
Mereka seperti dua magnet dengan kutub yang sama. Magnet yang satu membuat magnet yang lain terpental jauh. Padahal aku sangat ingin membuat mereka duduk berdampingan layaknya saudara--seperti seharusnya!
Nata masih menunggu jawabanku. Meski tak pernah meminta, aku tahu dia menunggu. Diam-diam aku bersyukur karena Nata tak menyerah semudah itu. Tapi, aku juga khawatir telah menahan Nata di sisiku hanya agar aku tak sendirian, bukan karena aku benar-benar menginginkan kehadirannya.
Kadang aku membandingkan diriku dengan tokoh antagonis dalam novel-novel yang kubaca. Tokoh-tokoh yang dengan egois memanfaatkan perasaan dan kebaikan orang lain demi keuntungan mereka sendiri. Kadang terasa seperti itu--caraku memperlakukan Nata. Tiap kali kakaknya tak mengacuhkanku, aku selalu berlari menemui adiknya. Aku tahu sikapku tak adil untuk Nata. Berkali-kali aku mencoba berhenti, tapi berkali-kali aku kembali mencarinya.
Tak dapat kukatakan betapa aku malu dan merasa bersalah padanya. Aku tak pernah berniat melukai perasaan Nata. Aku bahkan berusaha semampuku untuk membuatnya bahagia. Bukan karena merasa bersalah, melainkan karena aku benar-benar ingin membahagiakan dirinya.
Aku tahu, Nata tak mengharapkan apapun dariku kecuali satu--hatiku. Tapi, untuk memberikan hatiku padanya, aku harus membayar dengan harga yang sangat mahal--Arka. Aku bisa benar-benar kehilangan Arka. Bukan berarti sekarang aku belum kehilangan dirinya, aku hanya tak ingin menutup peluang sekecil apapun untuk bisa kembali bersama teman favoritku.
Arka masih bertahan dengan sikap dinginnya. Seminggu aku menghilang dari Ice Cream Corner pasca kecelakaan yang membuat tulang selangkaku retak, Arka sama sekali tak bereaksi saat melihatku muncul lagi di hadapannya. Padahal aku datang dengan alat penyangga di bahu dan lenganku. Padahal aku datang karena rindu. Tapi Arka malah sibuk menemani Alisa.
Alisa. Apa yang harus kulakukan padanya?
Sejujurnya, Alisa termasuk ke dalam tipe perempuan yang sangat kukagumi. Cantik, mandiri, cerdas, dan kuat--oh, aku yakin dia pasti kuat! Hanya perempuan kuat yang mampu mengubah patah-hatinya menjadi motivasi untuk melangkah maju, bukan malah menangis, lalu terpuruk.
Andai Alisa tak berusaha memisahkanku dari Arka, mungkin aku akan mengidolakan dirinya. Tapi, sekarang, perasaan paling dominan yang kurasakan pada perempuan itu adalah iri. Ugh! Iri saja bahkan tak cukup untuk menggambarkan perasaanku tiap kali melihatnya berada di dekat Arka. Rasanya aku ingin mendorong Alisa jauh-jauh, mencakar wajahnya, menjambak rambutnya...
Sekalipun tak tahan melihat kebersamaan mereka, aku tetap rutin datang ke Ice Cream Corner. Aku ingin menunjukkan bahwa sikap dingin Arka tak berpengaruh padaku. Aku juga ingin dia tahu, aku masih bersedia memberinya kesempatan untuk memberikan penjelasan. Tapi, yang paling utama, aku datang untuk melihat wajah Arka. Aku tak dapat bernapas lega kecuali telah memastikan dia baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomansKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...