PASTI AKU BERMIMPI. Semua yang terjadi semalam terlalu indah, terlalu membingungkan untuk menjadi kenyataan. Aku tak dapat tidur sekejap pun karena otakku terus memutar rentetan kejadian sejak aku datang ke Ice Cream Corner hingga Arka mengantarku pulang ke apartemen.
Karena itulah, aku merasa sangat lelah pagi ini. Mataku berat dan badanku lemas. Aku tak bertenaga melakukan apapun selain berbaring di sofa sepanjang pagi.
Sengaja kunyalakan televisi dengan suara keras. Bukan karena ingin menikmati acara musik yang tengah ditayangkan, melainkan karena suaranya membantuku mengalihkan pikiran dari bayangan Arka.
Aku tak mengerti. Pertama, Arka jelas-jelas menyatakan dirinya ingin menjalani hidup tanpa diriku. Kedua, saat aku menyerah dan memutuskan untuk pergi, dia malah menahanku. Ketiga--ini yang paling membingungkan--tiba-tiba saja dia mencium pipiku. Menciumku!
Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku? Perkataan dan perbuatannya seperti dua potong puzzle yang tak selaras satu sama lain.
Kuharap semua yang kualami benar-benar hanya mimpi. Setidaknya, dalam mimpi, aku bebas merasa bahagia dan melambungkan harapanku. Aku pun tak akan terluka jika mimpiku usai nanti.
Karena aku tahu, mimpi tak lebih dari sekadar bunga tidur. Bunga tidur yang kelewat nyata, seperti mimpiku saat ini.
Aku yakin tengah tertidur. Meski telingaku menangkap suara bising yang berasal dari televisi, aku masih melihat bentuk-bentuk abstrak dengan warna-warni cerah di kepalaku.
Aku juga melihat Arka. Dia tersenyum sambil mengelus pipiku. Aku balas tersenyum, menikmati sentuhan jemarinya di kulit wajahku.
Bentuk-bentuk abstrak di kepalaku satu per satu menghilang. Warna-warni cerah berubah gelap dan menghitam. Sosok Arka memudar, tapi aku masih bisa merasakan jemarinya terus mengelus wajahku. Semakin lama, sentuhannya terasa semakin nyata. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
Aku bahkan dapat mendengar suara iklan di televisi dengan jelas sekarang--membuatku yakin, ini bukan mimpi! Mataku seketika terbuka dan pada detik yang sama, aku langsung duduk.
“Hai,” Arka tersenyum memamerkan keriput kumis kucingnya, “Aku bikin kamu bangun, ya?”
Aku membelalak tak percaya melihatnya duduk manis di tepi meja di hadapanku. Apa dia benar-benar nyata? Diam-diam kucubit pahaku. Aku mengernyit. Sakit.
“Kamu... Kamu, kok, bisa ada di sini?”
Arka mengangkat bahu--tampak sangat rileks. Berbeda denganku yang begitu menyadari dirinya bukan bagian dari sebuah mimpi, langsung merasakan ketegangan melilit perutku dan--apa ini? Bagaimana bisa jantungku malah berdebar bahagia?
Bukankah seharusnya aku marah karena Arka telah lancang masuk ke apartemenku tanpa izin? Tapi, aku justru kesulitan menahan dorongan untuk tersenyum karena, untuk pertama kali setelah hampir dua bulan lamanya, Arka datang menemuiku.
“Password pintu kamu, kan, masih sama,” jawabnya.
“Iya, tapi kenapa kamu ada di sini?”
“Karena kamu nggak datang ke Ice Cream Corner hari ini.”
Seperti sikapnya tadi malam, jawaban Arka kali ini pun sangat membingungkan. Aku tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapannya barusan.
“Aku selalu datang ke sini tiap kali kamu nggak datang ke Ice Cream Corner,” jelasnya, “Aku juga selalu datang ke sini tiap kali aku nggak bisa tidur.”
Aku menelan ludah dengan suara berisik. Jantungku pun tak kalah berisik saat aku mendengar pengakuan Arka. Tapi... “Kenapa?”
“Aku nggak bisa tenang sebelum lihat wajah kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...