"APA, SIH, YANG ADA DI PIKIRAN KAKAK?" Inda mondar-mandir sambil menghentakkan kakinya ke lantai apartemenku, "Harus berapa kali Kak Nata bilang sayang, baru Kakak mau terima dia?"
Sejak datang setengah jam yang lalu, Inda tak berhenti mengomeliku. Sengaja kubiarkan dia menumpahkan uneg-unegnya. Selain karena tak diberi kesempatan bicara, aku tetap diam karena omelan Inda membuatku terhibur.
Rasanya seperti diomeli adik perempuan yang tak pernah kumiliki. Adik yang sedang kesal karena menurutnya, aku telah mengambil keputusan yang merugikan diriku sendiri.
"Apa yang salah dari Kak Nata? Dia ganteng, baik, sabar, penyayang, punya karir oke. Apa lagi yang kurang?" Inda mengakhiri sesi omelannya dengan menghempaskan badan ke sofa tepat di sampingku.
Aku menggeleng heran melihat Inda begitu kesal karena aku tak kunjung menerima cinta Nata. Padahal Nata sendiri tak terlihat sekesal itu saat meninggalkanku semalam.
"Kalau Nata memang sempurna, kenapa nggak kamu saja yang terima dia?"
"Kakak lupa? Bukan aku yang nggak mau terima Kak Nata, tapi Kak Nata yang nggak mau menerimaku!" Inda mengibaskan rambut sebahunya. Dia bicara tanpa nada getir, hanya menyatakan fakta apa adanya, "Apa, sih, yang bikin Kakak ragu buat menerima Kak Nata? Kakak nggak suka sama Kak Nata?"
Sebaliknya, aku justru sangat menyukai Nata. Aku masih ingat betapa cepat aku menyukainya dulu dan, setelah mengetahui kebaikan Nata, aku pun semakin menyukainya. Tapi, aku tak yakin rasa suka yang kumiliki adalah rasa suka yang diharapkan Inda maupun Nata.
Lagipula, aku selalu merasa kalau Inda adalah pasangan paling tepat untuk Nata. Meski mereka dipertemukan dalam sebuah kecelakaan yang merenggut ingatan Inda, aku tetap yakin kehadiran Inda adalah jawaban Tuhan atas harapan Nata selama ini.
Tak seharusnya Nata mencari orang baik hati lain setelah dia bertemu Inda--gadis yang memori pertamanya adalah wajah Nata. Andai aku tidak tiba-tiba muncul di antara mereka, aku yakin--cepat atau lambat--Nata akan jatuh cinta pada Inda.
"Memang kamu nggak senang, ya, kalau aku batal jadian sama Nata?" tembakku, "Kalau kita nggak jadian, kan, kamu jadi punya kesempatan buat PDKT sama Nata."
Mendengar pertanyaanku, Inda merapatkan bibirnya sampai membentuk satu garis tipis. Aku tahu, dia pasti sedang memikirkan jawaban yang tepat untukku.
Inda punya satu kebiasaan yang baru kusadari belakangan ini. Jika dimintai pendapat, dia akan berusaha menjawab dengan bijak. Jika ditanya mengenai perasaannya, dia akan berusaha menjawab dengan tepat agar tak membuat siapapun merasa terganggu. Tapi aku menginginkan jawaban jujur darinya sekarang.
"Jujur!" kataku sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahnya.
"Hmm. Sedikit," akunya dengan wajah cemberut, "Tapi lebih banyak kesalnya!"
Spontan aku tertawa, lalu setelah beberapa saat, Inda pun ikut tertawa bersamaku.
"Tapi kenapa Kakak nggak terima Kak Nata?" tanyanya lagi setelah kami selesai tertawa. Wajahnya serius sekarang, "Aku nggak tega lihat Kak Nata sedih."
"Dia nggak kelihatan sedih tadi malam."
"Kak Nata nggak bakal menunjukkan kesedihannya di depan Kakak. Dia nggak mau Kakak jadi merasa bersalah atau terpaksa menerima dia karena kasihan."
Kasihan, batinku. Bahkan Nata pun tak ingin aku menerima cintanya karena kasihan. Sama seperti aku berharap Arka berteman denganku bukan karena kasihan. Menyedihkan sekali jika alasannya menemaniku selama tiga belas tahun hanyalah rasa kasihan.
"Ada orang lain yang Kakak suka, ya?"
Aku tertawa geli mendengar kecurigaan Inda. "Oh, ya? Siapa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/196047080-288-k718666.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomantikKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...