25 - Pengakuan

85 8 0
                                    

NATA SIBUK MEMBUAT NASI GORENG DI DAPURKU. Aku tersenyum sendiri memandangi punggungnya, teringat kebiasaanku memandangi punggung Arka tiap kali dia menyiapkan sarapan untukku.

Selama lima tahun, Arka yang selalu menyediakan makanan untukku. Aku nyaris tak pernah repot memasak sendiri. Mungkin karena itulah, aku tak pernah benar-benar jago memasak atau terpikir untuk belajar memasak.

Sekarang Arka tak ada, adiknya menggantikan dan berinisiatif menyiapkan makanan untukku. Tak kakak, tak adik. Keduanya sama-sama memanjakan lidahku dengan masakan mereka. Aku jadi penasaran, apa semua lelaki yang tinggal hanya dengan saudara lelakinya selalu pandai memasak?

Aku terperanjat saat Nata tiba-tiba menoleh dan menatap tepat ke mataku. Apa dia menyadari aku memandangi punggungnya sejak tadi?

Nata tersenyum dan napasku menghentak pelan. Sudah lama tak kulihat senyum miring Nata. Melihatnya sekarang membuatku teringat Arka yang tak pernah lagi tersenyum padaku.

Misteri kemiripan senyum mereka terpecahkan begitu aku tahu keduanya berbagi darah ayah yang sama. Tapi, kemiripan mereka berhenti hanya sampai di situ. Nata berkulit terang, sementara kulit Arka gelap. Bentuk mata, alis, hidung, bibir, bahkan rambut mereka pun berbeda--rambut Arka ikal, sementara Nata berambut lurus dengan ujung runcing.

Secara fisik, persamaan yang mereka miliki hanyalah tinggi badan yang menjulang, rahang persegi dengan dagu membulat dan, tentu saja, senyum miring yang sepertinya sama-sama mereka warisi dari sang ayah. Karena wajah mereka tak mirip satu sama lain, kurasa tak akan ada orang yang dapat langsung menerka pertalian darah Arka dan Nata kecuali jika orang itu telah mengenal mereka sejak kecil--seperti Alisa.

“Jadi, apa yang bikin kamu tega membiarkan aku tidur di mobil?” tanyaku dengan nada bercanda setelah piring nasi goreng kami kosong.

“Kamu tidur pulas banget. Aku nggak tega membangunkan kamu. Aku bisa saja gendong kamu ke sini, tapi, kan, aku nggak tahu password pintu apartemen kamu. Lagian...”

“Lagian?”

“Lagian...aku masih kepingin bareng kamu,” akunya dengan suara pelan. Dia mengangkat kedua alisnya, “Maaf lagi?”

“Maaf diterima,” jawabku sambil mengangguk, “Terus, apa yang bikin kamu tega merahasiakan identitas Abang dariku?”

Aku berusaha mempertahankan nada bercanda, tapi ekspresi wajah Nata seketika berubah tegang begitu mendengar pertanyaanku. Dia pasti telah mengantisipasi momen ini. Cepat atau lambat, dia tahu, aku akan menuntut penjelasan dan dia harus memberikan jawaban.

“Aku nggak berencana bohong. Sumpah!” Nata mengangkat telunjuk dan jari tengahnya, “Aku nggak bilang apa-apa karena kukira kamu sudah tahu dari Abang dan cuma pura-pura nggak tahu. Tapi, lama-lama aku sadar kalau kamu memang nggak tahu soal aku sama Abang.”

“Dan kamu tetap memilih bungkam. Kenapa?”

“Karena... Karena Abang juga nggak kasih tahu kamu. Aku nggak berani cerita sama kamu kalau memang Abang nggak mau kamu tahu soal aku. Maaf,” ujarnya sambil menunduk.

Kupijat-pijat keningku yang bebas benjol--mendadak lelah berusaha memahami jalan pikiran kakak-beradik ini. Jika Nata menyembunyikan identitas abangnya demi menjaga perasaan Arka dan--jika sesuai dugaan Inda--Arka menyembunyikan identitas adik tirinya demi menjaga perasaanku, maka pada akhirnya, orang yang benar-benar tahu mengapa keberadaan Nata harus dirahasiakan dariku hanya Arka. Hanya dia yang dapat memberiku jawaban, bukan Nata.

Tapi, Nata pun masih harus menjelaskan satu hal lain padaku.

“Ngomong-ngomong soal pura-pura nggak tahu, bukan aku lho yang jago pura-pura, tapi kamu,” cetusku. Nata mengangkat wajahnya dan menatapku bingung. “Waktu pertama kali kita ketemu, sebenarnya kamu sudah tahu, kan, siapa aku? Kamu tahu aku teman Arka. Kamu tahu, tapi sengaja pura-pura nggak tahu. Iya, kan?”

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang