SEHARUSNYA, AKU BERSYUKUR karena Arka sangat sibuk bersama Alisa sepanjang minggu.
Aku belum berani memberitahunya mengenai perkenalanku dengan Nata. Jika tak ada pekerjaan yang mengalihkan perhatiannya, Arka pasti langsung menyadari ada sesuatu yang kusembunyikan darinya.
Tapi, kesibukan Arka malah membuatku kesal. Aku bahkan bertekad mendemo Ice Cream Corner jika Arka terus-menerus sibuk bekerja dan tak mengacuhkanku. Akan kupajang spanduk berisi tuntutan protesku di depan tokonya. Akan kubuat dia terkejut.
Itu rencanaku.
Sama sekali tak pernah terpikir bahwa akulah yang akan mendapat kejutan darinya pagi ini.
Aku duduk bertopang dagu sambil memandangi punggung Arka yang sedang membuatkan sarapan untukku. Masakannya jauh lebih enak dari masakanku, jadi selalu kubiarkan dia menyiapkan makanan tiap kali kami makan bersama di apartemen. Anehnya--dan hal ini membuatku senang--Arka tampak menikmati pembagian tugas kami: dia memasak dan aku duduk manis menemaninya.
Pagi-pagi sekali Arka datang ke sini. Dia mengetahui password pintu apartemenku--aku sendiri yang memberitahunya untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padaku--jadi tak terlalu mengejutkan jika Arka tiba-tiba berada di dapurku. Yang membuatku terkejut justru karena dia sempat datang ke sini dan membuatkanku sarapan setelah hampir seminggu sibuk di tokonya.
"Kamu yakin, nggak perlu bantuan?" tanyaku basa basi. Aku tahu, dia akan menolak tawaranku.
"Oke. Bantu aku," katanya sambil berbalik menghadapku.
Ups!
Arka tertawa melihat ekspresi cemas di wajahku. "Bantu aku habiskan jus ini," dia menyodorkan segelas jus jeruk padaku, "Kalau sudah habis, kamu cepat mandi. Biar nggak bau."
Aku cemberut saat Arka berpura-pura mengernyitkan hidung, tapi tetap melaksanakan kedua permintaannya.
Aroma telur goreng dan roti panggang membuat perutku bernyayi riang. Aku baru selesai mandi, tapi urung masuk ke kamar untuk berpakaian. Aku lapar.
Arka berdiri memunggungiku saat aku sampai ke dapur. Aku sengaja berjalan mengendap-endap, lalu menusuk pinggangnya dengan ujung jari telunjukku. Arka terlonjak kaget. Sendok kayu di tangannya sampai terjatuh.
Aku tertawa keras sambil memegangi perut. Arka berbalik. Kukira dia akan langsung mengomeliku, tapi dia malah mematung dengan mata terbelalak. Wajah Arka memerah. Tanpa bicara, dia kembali memunggungiku, lalu mengaduk salad buah yang tengah disiapkannya.
Tawaku pun terhenti.
"Selesai mandi, harusnya langsung pakai baju," tegurnya pelan.
Kupandangi jubah mandi yang kupakai. Apa dia terkejut melihatku memakai jubah mandi? Tapi, dia telah berkali-kali melihatku memakai jubah mandi.
Aku masih ingat, saat kakiku patah karena terjatuh dari tangga sekolah dan harus memakai gips selama berminggu-minggu, Arka yang membantuku keluar-masuk kamar mandi setiap pagi dan sore. Saat itu, aku pun selalu mengenakan jubah mandi.
Aku mengangkat bahu, "Nanti, kalau sudah makan."
Arka menghela napas, lalu menolehkan kepalanya sedikit untuk menatapku. Tangannya berhenti mengaduk salad.
"Bianca," katanya. Aku tersentak. Arka tak pernah memanggilku 'Bianca', kecuali saat dia marah padaku, "Kamu bukan anak kecil lagi sekarang. Aku teman kamu, tapi aku juga lelaki. Kamu mengerti, kan, maksudku?"
Aku terdiam dan langsung menunduk--tak berani memandang matanya. Arka tak berteriak. Dia bahkan tak meninggikan nada suaranya. Tapi, caranya menatapku-seperti menyesali karena aku tak menyadari kelelakiannya-membuatku malu dan merasa sangat bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...