19 - Pernyataan Cinta

120 10 0
                                    

AKU KESAL, TAPI TAK DAPAT MEMBANTAH. Omelan Arka sepenuhnya benar. Aku tak perlu membuang semua pakaian lamaku hanya karena ingin mengubah penampilan.

Teman favoritku itu benar-benar sewot saat mengetahui rencanaku memborong pakaian untuk mengganti seluruh isi lemariku. Dia bahkan mencubit pipiku dan tak berhenti menceramahiku tentang betapa penting menghemat uang yang kumiliki.

Kemarin, sehari penuh kugunakan untuk menyortir koleksi pakaianku. Arka memaksaku memilah baju mana yang masih bisa kupakai, mana yang akan kuberikan pada anak-anak perempuan Mentari, dan mana yang akan berubah fungsi menjadi lap atau keset. Dengan cara itu, aku tetap bisa merombak penampilanku tanpa harus belanja berlebihan. Aku hanya perlu membeli beberapa potong pakaian baru untuk kupadu-padankan dengan pakaian lamaku.

Hari ini, aku berjalan mengendap-endap menuju ruang direktur Panti Mentari. Kedua tanganku diberati kantong kertas berisi pakaian. Sengaja kupelankan suara langkahku agar tak ada seorangpun yang mengetahui kedatanganku selain Bu Candra. Karena, jika anak-anak memergokiku berada di sini, mereka pasti memaksaku tinggal sampai sore dan, mau tak mau, aku harus kembali menghadapi sikap dingin Inda.

Alasan di balik perubahan sikap gadis SMA itu masih menjadi misteri. Apapun yang kukatakan padanya, Inda hanya akan mengangguk atau menggeleng, lalu pergi meninggalkanku. Bahkan, seringkali dia sengaja berdiam diri di kamar saat aku berkunjung ke sini--menghindari keharusan bertatap muka denganku.

Aku mulai gerah dengan sikap Inda. Andai Nata tidak tiba-tiba menghilang, aku pasti telah menumpahkan uneg-unegku padanya. Dia sangat memahami Inda. Mungkin dia pun tahu alasan gadis itu memperlakukanku seolah aku menderita penyakit menular. Tapi, Nata tak pernah mengangkat ponselnya atau membalas pesanku. Aku juga tak pernah bertemu dengannya lagi di panti. Dia benar-benar menghilang--nyaris bagai ditelan bumi.

Berkali-kali aku berusaha memutar gagang pintu ruang kerja Bu Candra, tapi tak berhasil. Aku hendak menurunkan sebagian kantong kertas yang kupegang agar tanganku lebih leluasa membuka pintu saat pintu itu tiba-tiba terbuka sendiri. Aku menghela napas lega. Kupikir Bu Candra yang telah membukakan pintunya dari dalam, tapi ternyata bukan.

Nata berdiri di hadapanku sambil memegangi gagang pintu. Aku terkejut melihatnya. Bukan karena tak mengira akan bertemu dengannya di sini, melainkan karena tak mengira akan melihat Nata sekurus ini. Wajahnya tirus, matanya cekung, dan aku dapat melihat tulang selangka Nata menonjol di balik kerah kemejanya yang terbuka.

Temanku itu tampak pucat dan sakit, tapi senyumnya merekah lebar begitu dia melihatku. Apa yang terjadi padanya? Bagaimana bisa berat badan Nata menurun drastis hanya dalam waktu dua minggu?

Aku melangkah masuk. Nata memberiku jalan, lalu menutup pintu di belakangku. Kuletakkan semua kantong kertas yang kubawa di lantai. Nata bersiul pelan, membuatku berbalik untuk menatap wajahnya.

"Kamu beda banget," ujarnya takjub.

"Kamu juga beda banget," balasku, tapi tanpa nada takjub.

Nata hanya tersenyum, lalu mendahuluiku duduk di sofa. Aku pun ikut duduk. Lutut kami berhadapan, hanya terpisah oleh meja persegi panjang yang sengaja diletakkan di antara kedua sofa kecil yang kami duduki.

"Bu Candra lagi keluar sama Inda, tapi sebentar lagi pasti datang," jelasnya tiba-tiba. Sakit ataupun tidak, kemampuan Nata dalam memperhatikan dan memahami hal-hal detail tetap mampu membuatku tercengang dan terheran-heran.

"Aku cuma mau titip baju buat anak-anak ke Bu Candra," kataku sambil menunjuk kantong-kantong kertas yang kini tergeletak di lantai. Lalu, tanpa sengaja aku melihat plester kecil melekat di punggung tangan kiri Nata. Kucondongkan badanku ke depan dan kutarik tangannya yang berplester, "Ini bekas infus, ya? Kamu sakit?"

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang