20 - Isi Hati

100 5 1
                                    

"KAMU. AKU JATUH CINTA SAMA KAMU."

Hatiku kembali melayang saat teringat ucapan Nata. Untuk pertama kali dalam dua puluh dua tahun hidupku, ada seorang lelaki yang menyatakan cintanya padaku. Aku tak dapat berhenti mengulum senyum selama duduk bertopang dagu di pojok Ice Cream Corner.

Suara gebrakan membuat lamunanku buyar. Aku menoleh untuk memarahi siapapun yang berani menggebrak mejaku. Tapi, lidahku seketika terkunci begitu kulihat Arka berdiri sambil berkacak pinggang--sebelah tangannya bertumpu pada meja. Rasa kesal terpampang jelas di wajahnya.

"Apa?" suaraku yang tadinya ingin kubuat galak malah terdengar mencicit.

"Pulang, sana!"

"Apa-apaan, sih? Aku, kan, lagi pesan es krim. Kenapa malah disuruh pulang?"

"Es krim ini, maksud kamu?" Arka mendorong piring berisi waffel ke dekat tanganku.

Itukah waffel yang kupesan tadi? Aku tak ingat kapan waffel itu diantarkan ke mejaku. Tapi, melihat es krim yang seharusnya menggunung di atas waffel telah berubah menjadi genangan air kental, kurasa piring itu telah cukup lama berada di sini.

Bingung, aku pun menatap Arka. Dia mendengus, tapi tak lagi tampak kesal. Dipanggilnya Mimi yang sedang membersihkan meja kosong di samping mejaku.

"Ini, tolong diambil. Ganti sama yang baru," katanya. Mimi mengangguk dan dengan sigap mengambil piring waffel-ku yang malang.

Arka duduk di hadapanku--punggung bersandar, satu tangan di atas paha, satu lagi dia taruh di atas meja. Jemarinya berulang kali mengetuk pelan permukaan meja.

"Kamu mau cerita atau nggak?" tanyanya tanpa basa basi.

Aku tak menjawab. Sama seperti saat aku enggan menceritakan perkenalanku dengan Nata padanya, sekarang pun aku tak ingin memberitahu Arka mengenai pernyataan cinta yang kuterima beberapa hari yang lalu. Tapi, teman favoritku telah melihat kejanggalan dalam sikapku. Aku tak dapat berkelit.

"Menurut kamu, aku cantik, nggak?" aku membuka ceritaku dengan pertanyaan.

Jemari Arka tiba-tiba berhenti bergerak. Dia menatapku dengan kedua alis terangkat tinggi.

"Jangan cantik, deh! Aku menarik, nggak?" ralatku buru-buru.

"Menarik?"

"Iya. Menurut kamu, aku punya daya tarik yang bisa bikin orang jatuh cinta sama aku, nggak?"

Arka tertawa pendek, lalu menggeleng-gelengkan kepala seolah pertanyaanku terdengar sangat konyol di telinganya. Aku mulai merasa kecewa pada diriku sendiri. Jika aku memang cantik--atau menarik--Arka pasti menjawab pertanyaanku. Dia tak pernah berbohong. Tapi, jika kebenaran terlalu sulit untuk diungkapkan, Arka akan memilih diam. Persis seperti yang dia lakukan sekarang.

Dari kecewa, perasaanku berubah malu, lalu tersinggung. Spontan aku berdiri. Aku tak ingin melihat tatapan bernada tawa yang diarahkan Arka padaku.

"Kamu mau ke mana?" Arka menangkap pergelangan tanganku dan menarikku duduk kembali, "Aku, kan, belum jawab pertanyaan kamu."

"Nggak perlu!"

"Tapi, aku mau jawab," senyum kecil bermain di ujung bibir Arka. Kulipat kedua lenganku--menunggu jawabannya, "Kamu cantik, Bi. Tapi, andai kamu nggak cantik pun nggak masalah. Kamu masih punya segudang daya tarik lain yang bisa bikin orang jatuh cinta sama kamu. Ini, salah satunya," dia menjawil hidungku dengan telunjuknya.

"Ini--apa?"

"Cara kamu mengambek. Maniiiis banget."

"Tuh, kan! Kamu nggak serius jawabnya. Percuma aku dengar jawaban kamu!"

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang