KUPELOTOTI INDA DAN TIWI. Bisa-bisanya mereka tertawa saat kubilang, aku tak punya cita-cita. Padahal kuakui hal itu dengan suara memelas, tapi mereka malah menertawakanku.
Aku telah terbiasa ditertawakan Tiwi. Tapi, Inda? Entah pergi ke mana Inda yang kalem dan tak banyak bicara. Karena Inda yang sekarang duduk di hadapanku sambil tertawa sama sekali tidak terlihat pendiam.
Banyak yang berubah dalam beberapa minggu terakhir sejak kulihat Ar--
Kugertakkan gigi untuk menghentikan diriku memikirkan namanya, lalu diam-diam kutarik napas panjang.
Banyak yang berubah sejak malam pergantian tahun. Pertama, apartemenku akhirnya kedatangan tamu: dua gadis SMA yang sedang menertawakanku ini. Kedua, aku tak pernah lagi menghabiskan waktu menyendiri di apartemen.
Lebih mudah bagiku mengendalikan pikiran jika ada seseorang yang menemaniku. Aku dapat berkonsentrasi memperhatikan semua hal yang mereka bicarakan sehingga pikiranku sendiri tak akan melayang pada hal-hal yang sebaiknya tak kupikirkan.
Kunjungan ke panti menjadi kegiatan wajib--hampir setiap hari. Menemani Bu Candra ke pasar, menghadiri persidangan bersama Nata, menonton pentas seni di sekolah Tiwi dan Inda, sampai mengambilkan buku rapor Gagan.
Jika tak ada orang yang bisa menemaniku atau orang yang kegiatannya bisa kuikuti, akan kuhabiskan berjam-jam di toko buku atau keluar-masuk bioskop--menjajal semua film yang ada.
Intinya, aku melakukan segala hal untuk mengalihkan pikiranku dari orang itu.
"Kakak serius, ya? Benar-benar nggak punya cita-cita?" Tiwi mengelap air matanya yang keluar karena terlalu banyak tertawa.
"Nggak usah sok begitu, deh, ngomongnya! Memang kamu punya cita-cita?"
"Diiih, masa aku nggak punya cita-cita?"
"Nggak percaya," kataku sambil menjulurkan lidah.
Tawa mereka kembali pecah.
"Benar, kok, Kak," Inda menengahi, "Dari dulu, Tiwi kepingin banget jadi penyiar radio. Malah sekarang, dia sudah mulai part time di radio dekat sini."
"Oh, ya? Radio yang di dekat sini itu?"
Mereka mengangguk kompak. Tiwi lalu bercerita tentang radio tempatnya bekerja. Sesekali Inda mengomentari ceritanya, sementara aku hanya mendengarkan, mendengarkan, dan bersyukur telah dipertemukan dengan kedua gadis ini--terutama Inda. Tak pernah kusangka Inda akan menjadi salah satu orang yang bisa kusebut 'teman'.
Segera setelah Inda dan Tiwi keluar dari apartemen, kubereskan meja makan. Kucuci bersih semua perabot kotor, kukeringkan dengan lap, dan kumasukkan ke dalam lemari. Aku bahkan mengelap meja dan menyapu lantai, meski sebetulnya tak perlu kulakukan.
Tak sampai setengah jam, aku telah kehabisan pekerjaan. Kuketuk-ketukkan jemariku ke atas konter dapur. Mataku sibuk menyusuri ruangan, lalu tertumbuk pada meja kayu pendek di ruang tengah.
Napasku mendadak sesak. Hanya aku yang akan merasa janggal melihat buku bersampul merah tergeletak di sana. Karena bukan aku yang meletakkan buku itu--bukan pula Inda ataupun Tiwi--melainkan dia.
Dia pasti sengaja meletakkan buku itu di atas meja agar aku dapat melihatnya dengan jelas--agar aku selalu menyadari kedatangannya ke sini. Sama seperti saat dia meletakkan stoples berisi kacang mede di konter dapur, mengganti lampu balkon yang tiba-tiba pecah minggu lalu, atau menaruh es krim di freezer saat aku tak ada. Selalu saat aku tak ada.
Aku tak mengerti kenapa lelaki itu mendatangi apartemenku. Untuk menunjukkan kepeduliannya padaku? Jika benar begitu, kenapa dia tak pernah menemuiku secara langsung? Kenapa dia hanya datang saat aku tak ada? Kebetulan, kah?

KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...