TANGANKU BERGERAK SENDIRI. Mengambil jeruk dari atas meja, lalu mengupasnya pelan-pelan. Aku berusaha terlihat sibuk dengan apapun yang kukerjakan agar punya alasan untuk tetap membisu dan melanjutkan lamunanku tanpa interupsi.
Sejak Arka melepaskan tanganku, hatiku terasa hampa--seperti mati rasa. Aku tak sempat menangisi patah hatiku karena sibuk mengkhawatirkan Nata. Tapi, bahkan setelah Nata sadar, setelah dia selesai mengeluarkan semua rasa bersalahnya padaku, setelah aku menyendiri di apartemen pun, air mataku tetap tak mau keluar.
Aku bersyukur dengan kehampaan yang kurasakan. Meski kehampaan ini membentuk lubang kosong di hatiku, setidaknya aku tak merasa sedih. Aku bisa bersikap normal karena tak dapat merasakan luka di hatiku tiap kali teringat lelaki bodoh yang telah membiarkanku pergi.
"Kamu nggak mau ada di sini," ucap Nata tiba-tiba.
Aku menatapnya. Dia benar. Yang kuinginkan saat ini hanya bergelung di balik selimut di apartemenku, membiarkan kehampaan menyelimuti hatiku seutuhnya. Mata Nata memang selalu bisa melihat semua hal yang ingin kusembunyikan darinya.
Tapi, itu bukan pertanyaan. Aku pun tak menjawab. Aku hanya menyuapkan sepotong jeruk ke mulut Nata. Dia tak menolak.
"Kamu nggak harus selalu berada di sini," katanya lagi--pantang menyerah.
Aku menghela napas. "Aku tahu," jawabku.
"Lalu?"
"Lalu--apa?"
"Kamu tahu maksudku," sergahnya.
"Iya, aku tahu," kataku, "Aku bebas menentukan ingin berada di mana dan dengan siapa aku ingin berada di sana."
"Tapi?"
"Nggak ada 'tapi'."
Nata menyipitkan mata menatapku. "Ada masalah apa?" tanyanya.
"Nggak ada apa-apa."
Jawaban spontanku yang klasik membuat Nata menghembuskan napas kesal.
"Kamu bukan tahanan. Kamu bebas datang dan pergi kapanpun kamu mau," ujarnya, "Kamu juga nggak harus datang ke sini setiap hari. Aku nggak bakal kabur dari rumah sakit. Aku janji, aku bakal duduk manis di sini--menunggu kamu datang," lanjutnya sambil tersenyum lebar.
Tiba-tiba air mataku bergulir. Kalimat terakhir Nata terasa menusuk hatiku, menembus kehampaan yang mati-matian kupertahankan.
Aku tahu, dia berkata begitu hanya agar aku tak merasa terbebani untuk selalu menemaninya setiap saat. Tapi, mendengar Nata berjanji akan menungguku, aku seolah mendengar suara lelaki lain yang kuharap mengatakan hal serupa padaku--bahwa dia akan menungguku.
"Kamu mau aku pergi juga?" tanyaku.
"'Juga'?"
"Kalau kamu minta aku pergi sekarang, aku nggak tahu lagi di mana seharusnya aku berada! Kalau kalian berdua sama-sama nggak mau aku ada di samping kalian, aku harus gimana? Aku harus pergi ke mana?"
Nata tampak terkejut mendengar kata-kata berhamburan keluar dari mulutku. Awalnya hanya terkejut, lalu perlahan, ekspresi mengerti muncul di wajah Nata.
Kutelungkupkan wajahku ke ranjang untuk menghalangi Nata membaca ekspresi wajahku lebih jauh. Aku benci kemampuannya memahamiku. Aku benci saat dia membuatku tak dapat menyembunyikan apapun darinya.
"Bianca," panggilnya.
Aku bergeming.
"Abang yang minta kamu datang ke sini?"
Aku tetap diam dan berencana terus bungkam. Tapi, tangan Nata tiba-tiba memegangi kedua sisi wajahku. Dengan lembut dia membuatku mengangkat kepala dan menatapnya. Setelah yakin aku tak akan menghindari tatapannya lagi, Nata melepaskan wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomantizmKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...