DENGAN SUSAH PAYAH, AKU KELUAR dari toilet kampus. Banyak sekali orang yang berdesakan di toilet. Padahal acara wisuda telah selesai sejak tadi.
Taksi yang mengantar Bu Candra dan Inda bahkan telah lama pergi. Hanya Nata yang masih menungguku di pelataran parkir.
"Jadi, kita mau ke mana sekarang?" tanya Nata. Kentara sekali dia sangat bersemangat untuk merayakan kelulusanku.
Sengaja tak langsung kujawab. Aku baru masuk ke dalam mobil dan masih sibuk menaruh barang-barangku di kursi belakang. Lagipula, aku tak terlalu antusias merayakan apapun hari ini.
"Ada saran?"
"Makan?" cetusnya.
Aku mengangguk.
"Kedai mie?"
Aku menggeleng. Kedai mie terlalu dekat dengan Ice Cream Corner.
"Apartemen?"
Aku menggeleng lagi. Bagaimana jika orang itu datang ke apartemen saat kami berada di sana? Aku nyaris bergidik membayangkan reaksinya jika sampai melihat Nata di apartemenku.
"Mm, kalau ke rumahku--gimana? Aku yang masak. Kamu tinggal duduk dan makan."
Mataku membelalak tak percaya.
"Abang?"
"Abang lagi kerja."
Kugigit bibirku sambil menimbang-nimbang saran Nata. Aku belum pernah berkunjung ke rumah siapapun. Jangankan rumah orang lain, rumah teman favoritku saja belum pernah kudatangi.
Benar-benar keterlaluan. Tiga belas tahun berteman, tapi aku sama sekali tak tahu di mana orang itu tinggal. Sekarang--setelah tak mungkin lagi mencari tahu--baru aku menyesal.
"Kalau kamu nggak mau, ya, nggak apa-apa," Nata mengartikan diamku sebagai penolakan.
"Aku mau, kok," sangkalku, "Tapi...sore aku pulang, ya? Nggak mau kemalaman di jalan," tambahku. Padahal aku hanya ingin menghindari kemungkinan bertemu dengan abangnya.
"Oke."
Aku menarik napas dalam-dalam, "Oke."
Nata terlihat sangat gembira. Sambil menyetir, dia tak berhenti mengoceh dengan riang. Kegembiraannya tak terganggu meski aku lebih banyak diam daripada menanggapi ocehannya.
Aku sangat bersyukur karena Bu Candra, Nata, dan Inda mau mendampingiku hari ini. Tapi, hati kecilku masih mengharapkan kehadiran orang itu. Aku tak dapat berhenti mencari-cari wajahnya di antara lautan orang yang memadati kampusku tadi.
Tentu saja orang itu tak ada di sana. Bagaimana mungkin dia bisa berada di sana jika dia tak mengetahui tanggal wisudaku?
Lamunanku terputus. Aku menegakkan duduk saat menyadari ke arah mana Nata membawa mobilnya. Aku mengenal jalan yang sedang kami lalui dan itu membuatku gelisah.
"Kamu yakin, kita nggak salah jalan?"
"Iya, lah. Ini jalan ke rumahku. Masa aku salah jalan?"
Tapi, aku pun tak salah. Jalan yang kami lalui saat ini adalah jalan yang selalu kulewati untuk keluar masuk kompleks tempatku tinggal bersama Ayah dan Ibu dulu. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas gapura kompleks di depan sana.
Rasa takut mulai menyelimuti hatiku. Semoga dugaanku salah. Semoga kami hanya melewati gapura itu dan bukan masuk ke dalam kompleks. Tapi, mobil Nata justru berbelok memasuki kompleks dan terus menyusuri jalan yang langsung membawa kami ke rumah Ayah dan Ibu.
Kukepalkan tanganku erat-erat saat Nata menghentikan mobilnya di depan rumah satu lantai berwarna biru pucat.
"Nah, sampai. Ayo, turun!" Nata yang tak menyadari perubahan sikapku langsung sibuk melepaskan sabuk pengaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...