18 - Kencan

102 8 2
                                    

AKU MENGUAP TANPA BISA KUTAHAN. Tak kusangka duduk di salon seharian ternyata sangat membosankan. Tapi, aku puas saat melihat pantulan diriku di cermin. Diriku yang baru.

Kulit wajahku tak lagi pucat dan lusuh, tapi segar dan berseri. Kuku tangan dan kakiku pun mengkilap. Rambutku rapi, lembut, dan wangi. Sengaja kubiarkan rambutku tetap jatuh sampai ke lengan, tapi kututupi dahiku dengan poni--sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak aku lulus SD.

Aku juga membeli gaun onepiece putih selutut dan kalung tali berbandul dream catcher--kalung pertama yang kubeli dalam lima tahun terakhir. Kupilih kalung berwarna biru-ungu agar cocok dengan jaket dan sneakers denim biru yang kupakai. Padu-padan gaun dengan denim--gaya yang tak pernah usang dimakan waktu. Paling tidak, begitulah kata google.

Sekali lagi, aku mengecek penampilanku di kaca spion. Tanganku berkali-kali merapikan poni--belum terbiasa dengan poni baruku. Kubetulkan posisi jam di tanganku, lalu kutarik napas dalam-dalam dan keluar dari mobil.

Hal pertama yang kulihat begitu aku masuk ke Ice Cream Corner adalah Arka. Dia berdiri agak membungkuk di meja kasir--seperti hendak berdiri, tapi mendadak berhenti sebelum seluruh badannya tegak. Matanya menatapku tak berkedip.

Aku tersenyum. Entah mengapa, reaksi Arka membuatku merasa lebih percaya diri.

"Boleh pesan es krim?" aku bertanya, meski aturan main yang berlaku untukku di sini adalah datang dan duduk selama yang kuinginkan--dengan atau tanpa pesan es krim. Tapi, Alisa pernah mengusirku hanya karena aku duduk tanpa memesan apapun. Tak akan kubiarkan hal itu terjadi lagi.

Arka menegakkan badan perlahan sambil tak melepaskan pandangannya dari wajahku.

"Mau pesan apa? Es krim vanila lapis cokelat kacang plus buah stroberi?" tanyanya tanpa jeda.

"Kamu selalu tahu apa yang kumau."

Ucapanku seperti membuatnya tersadar. Takjub menghilang dari wajah Arka, digantikan senyum miring kumis kucingnya.

"Penampilan kamu boleh berubah, tapi es krim favorit kamu pasti tetap sama," sahutnya yakin, "Duduk sana!"

Dengan riang, aku langsung berbalik menuju meja di pojok favoritku. Sekilas kulihat Alisa berdiri mematung di depan pintu dapur. Aku tersenyum puas. Aku yakin, aku tak salah mengartikan ekspresi terkejut di wajah perempuan itu.

"Jadi, ada acara spesial apa hari ini?" Arka duduk bertopang dagu di hadapanku.

Aku tak segera menjawab. Aku tahu, dia benar-benar penasaran melihat penampilanku tiba-tiba berubah. Tapi, sikapnya yang sok santai membuatku ingin menggodanya.

"Aku mau kencan."

Mata Arka membelalak lebar. Dia jelas tampak terkejut, tapi bersikeras mempertahankan gaya santainya. Dia bahkan sengaja tak mengubah posisi tangan yang menopang dagunya. Aku menggigit bibirku--menahan senyum.

"Oh. Sama siapa? Nata?" tanyanya datar.

"Bukan," aku menggeleng, lalu mencondongkan badan ke depan dan berkata pelan, "Aku mau kencan sama kamu."

Dagu Arka tiba-tiba terlepas dari tangannya. Dia tampak salah tingkah dan tawaku menyembur keras. Luruh sudah semua kesan santai yang dia pertahankan sejak tadi. Wajahnya kini terlihat polos karena terkejut.

Aku sibuk tertawa dan baru berhenti saat kusadari Arka terdiam menatapku. "Aku cuma bercanda," ujarku takut-takut, "Kamu nggak perlu marah."

Arka menghela napas. "Aku nggak marah. Aku tahu, kamu cuma bercanda. Tapi..." dia balik mencondongkan badan ke arahku. Wajah kami begitu dekat sampai aku bisa melihat garis halus di ujung kedua matanya, "...aku mau itu jadi kenyataan."

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang